Tatanan Pajak Global Baru: Analisis Solusi Dua Pilar OECD/G20 dan Implikasinya bagi Negara Berkembang
- Roni Adi
- Jul 11
- 7 min read
Pendahuluan

Sistem perpajakan internasional yang telah bertahan selama hampir satu abad, yang dirancang untuk ekonomi berbasis fisik, kini berada di titik puncaknya. Kemunculan ekonomi digital telah memungkinkan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) raksasa untuk meraup keuntungan masif dari pasar di seluruh dunia tanpa memerlukan kehadiran fisik yang signifikan, seperti kantor atau pabrik. Fenomena ini, ditambah dengan strategi perencanaan pajak agresif yang dikenal sebagai Erosi Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profit Shifting - BEPS), telah mengeksploitasi celah dan ketidaksesuaian dalam aturan pajak antarnegara, yang mengakibatkan kerugian pendapatan yang signifikan bagi banyak yurisdiksi. Laba secara sistematis dialihkan dari negara tempat aktivitas ekonomi riil berlangsung ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah atau bahkan nol, membuat kerangka kerja tradisional tidak lagi memadai.
Menanggapi krisis legitimasi dan efektivitas ini, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bersama dengan negara-negara G20 memprakarsai sebuah agenda reformasi yang ambisius. Melalui Kerangka Kerja Inklusif (Inclusive Framework), yang kini mencakup lebih dari 140 negara dan yurisdiksi, lahirlah konsensus untuk sebuah solusi komprehensif yang dikenal sebagai "Solusi Dua Pilar" atau BEPS 2.0. Reformasi ini tidak hanya menambal celah, tetapi juga secara fundamental mendesain ulang pilar-pilar utama arsitektur pajak global. Artikel ini bertujuan untuk membedah secara mendalam mekanisme Pilar Satu dan Pilar Dua, menganalisis status implementasi dan kontroversi yang menyertainya, serta mengevaluasi dampaknya yang kompleks dan seringkali paradoksal bagi negara-negara berkembang, dengan mengambil Indonesia sebagai studi kasus utama.
Arsitek Perubahan: Dari BEPS ke Kerangka Kerja Inklusif
Reformasi pajak global saat ini adalah puncak dari upaya bertahun-tahun untuk mengatasi masalah inti yang dikenal sebagai BEPS. Istilah ini merujuk pada strategi perencanaan pajak yang memungkinkan MNC untuk meminimalkan beban pajak mereka secara keseluruhan dengan mengalihkan laba dari yurisdiksi bertarif pajak tinggi ke yurisdiksi bertarif rendah. Praktik ini secara efektif mengikis basis pajak di negara-negara tempat nilai sebenarnya diciptakan. Contoh klasik dari mekanisme ini adalah eksploitasi aset tidak berwujud. Sebuah MNC dapat mengembangkan sebuah paten di negara maju, lalu menjualnya dengan harga rendah ke anak perusahaannya yang berdomisili di surga pajak. Akibatnya, setiap penjualan produk yang menggunakan paten tersebut di seluruh dunia akan mengharuskan pembayaran royalti dalam jumlah besar ke entitas di surga pajak, secara efektif memindahkan sebagian besar laba global ke yurisdiksi dengan beban pajak minimal.
Menyadari bahwa masalah lintas batas ini memerlukan solusi multilateral, OECD dan G20 meluncurkan Proyek BEPS pada tahun 2013, yang menghasilkan 15 Rencana Aksi untuk meningkatkan koherensi, substansi, dan transparansi pajak internasional. Namun, paket reformasi awal ini belum sepenuhnya menjawab tantangan terbesar: bagaimana memajaki ekonomi digital yang beroperasi tanpa kehadiran fisik. Untuk mengatasi kebuntuan ini dan memastikan partisipasi yang lebih luas, terutama dari negara-negara berkembang, dibentuklah Kerangka Kerja Inklusif OECD/G20 mengenai BEPS. Forum inilah yang menjadi wadah negosiasi untuk Solusi Dua Pilar, sebuah upaya yang jauh lebih fundamental untuk merombak aturan main perpajakan global.
Pilar Satu: Mendesain Ulang Hak Pemajakan di Era Digital
Pilar Satu merupakan upaya paling radikal untuk mengubah prinsip dasar alokasi hak pemajakan yang telah berusia seabad. Tujuannya adalah untuk bergeser dari sistem yang semata-mata bergantung pada kehadiran fisik (physical presence) ke sistem yang juga mengakui kontribusi negara pasar (market jurisdiction), tempat konsumen dan pengguna berada, dalam penciptaan nilai.
Aturan ini tidak berlaku untuk semua perusahaan, melainkan dirancang khusus untuk menargetkan raksasa global dengan dua kriteria kumulatif: pendapatan global di atas €20 miliar dan margin laba sebelum pajak di atas 10%. Pengecualian diberikan untuk industri tertentu seperti ekstraktif dan jasa keuangan yang diregulasi.
Implementasi Pilar Satu terbagi menjadi dua komponen utama:
Amount A: Ini adalah inti dari mekanisme realokasi.
Amount A menetapkan bahwa 25% dari "laba sisa" (residual profit)—yaitu laba yang melebihi ambang batas profitabilitas 10% dari pendapatan—akan dialokasikan kembali ke negara-negara pasar yang memenuhi syarat. Alokasi ini dihitung berdasarkan proporsi pendapatan yang dihasilkan dari setiap yurisdiksi pasar. Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan teknologi raksasa yang memenuhi syarat menghasilkan 5% dari total penjualannya di Indonesia, maka Indonesia akan mendapatkan hak untuk memajaki sebagian dari 25% laba sisa global perusahaan tersebut, terlepas dari ada atau tidaknya kantor perwakilan di Indonesia.
Amount B: Komponen ini dirancang untuk menyederhanakan dan menstandarisasi remunerasi atas aktivitas pemasaran dan distribusi rutin, yang merupakan area paling umum terjadinya sengketa harga transfer (transfer pricing). Dengan menyediakan pendekatan yang terstandardisasi untuk menentukan remunerasi yang wajar (arm's length), Amount B bertujuan mengurangi beban administrasi dan potensi perselisihan, sebuah manfaat signifikan khususnya bagi negara-negara dengan kapasitas administrasi yang terbatas.
Meskipun konsepnya revolusioner, implementasi Pilar Satu terbukti sangat menantang. Hal ini memerlukan adopsi dan ratifikasi sebuah Konvensi Multilateral (Multilateral Convention - MLC) oleh sejumlah besar negara. Proses ini menghadapi hambatan politis yang signifikan, terutama dari Amerika Serikat, yang khawatir bahwa aturannya akan secara tidak proporsional menargetkan perusahaan-perusahaan teknologinya. Akibatnya, tenggat waktu yang ditetapkan pada Juni 2024 terlewat tanpa adanya kesepakatan final.
Kegagalan mencapai konsensus ini menciptakan ketidakpastian dan mendorong beberapa negara untuk mempertimbangkan kembali atau melanjutkan langkah-langkah sepihak berupa Pajak Layanan Digital (Digital Services Tax - DST). DST, yang merupakan pajak atas pendapatan kotor dari layanan digital, telah memicu perselisihan dagang antara AS dan negara-negara yang menerapkannya. Bagi Indonesia, ini adalah dilema yang nyata. Upaya sebelumnya untuk memperkenalkan Pajak Transaksi Elektronik melalui UU No. 2/2020 harus ditangguhkan setelah adanya tekanan internasional, yang menggarisbawahi bahwa langkah sepihak oleh negara berkembang dapat menghadapi risiko pembalasan dagang yang serius tanpa adanya payung kesepakatan multilateral.
Pilar Dua: Era Baru Pajak Minimum Global
Jika Pilar Satu adalah tentang di mana laba dikenai pajak, maka Pilar Dua adalah tentang berapa tarif pajak minimum yang harus dibayar oleh MNC. Ini adalah respons langsung terhadap fenomena "perlombaan menuju dasar" (race to the bottom), di mana negara-negara saling bersaing untuk menarik investasi dengan menawarkan tarif pajak perusahaan yang semakin rendah, seringkali mendekati nol.
Melalui Aturan Anti-Erosi Basis Global (Global Anti-Base Erosion - GloBE), Pilar Dua memperkenalkan pajak minimum global efektif sebesar 15%. Aturan ini berlaku untuk grup MNC dengan pendapatan konsolidasi tahunan di atas €750 juta. Mekanisme GloBE bekerja dengan cara menghitung Tarif Pajak Efektif (Effective Tax Rate - ETR) yang dibayarkan oleh entitas-entitas dalam grup MNC di setiap yurisdiksi tempat mereka beroperasi. Jika ETR di suatu yurisdiksi berada di bawah 15%, maka akan dikenakan "pajak tambahan" (top-up tax) untuk menaikkan total beban pajak menjadi 15%.
Penegakan Aturan GloBE dilakukan melalui tiga mekanisme yang saling mengunci:
Income Inclusion Rule (IIR): Ini adalah aturan utama yang bersifat top-down. Jika anak perusahaan yang beroperasi di yurisdiksi A memiliki ETR di bawah 15%, maka perusahaan induk utamanya di yurisdiksi B wajib membayar pajak tambahan tersebut kepada otoritas pajak di negaranya sendiri. Dengan kata lain, negara domisili induk perusahaan "mengambil" pajak yang tidak dipungut oleh negara sumber.
Undertaxed Payments Rule (UTPR): Ini adalah aturan cadangan (backstop) yang berlaku jika IIR tidak dapat diterapkan. UTPR memungkinkan yurisdiksi lain tempat grup MNC beroperasi untuk memungut pajak tambahan yang terlewat, misalnya dengan menolak pengurangan biaya atau mengenakan pajak tambahan atas pembayaran yang dilakukan kepada entitas yang pajaknya rendah.
Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT): Ini adalah mekanisme pertahanan yang paling krusial bagi negara sumber, termasuk negara berkembang. QDMTT memungkinkan yurisdiksi tempat entitas berpajak rendah beroperasi untuk memungut sendiri pajak tambahan tersebut, sebelum IIR atau UTPR dapat diterapkan oleh negara lain. Dengan menerapkan QDMTT, negara sumber memastikan bahwa pendapatan dari pajak tambahan tersebut tetap masuk ke kas negaranya, bukan mengalir ke negara domisili induk perusahaan.
Untuk memastikan bahwa aturan ini tidak menghukum aktivitas ekonomi riil, Pilar Dua menyertakan Pengecualian Pendapatan Berbasis Substansi (Substance-Based Income Exclusion - SBIE). Pengecualian ini memungkinkan perusahaan untuk mengurangi basis laba GloBE mereka sebesar persentase tertentu dari nilai aset berwujud dan biaya gaji di yurisdiksi tersebut, sehingga membedakan antara laba yang berasal dari aktivitas ekonomi riil dengan laba yang dialihkan secara artifisial.
Dampak bagi Negara Berkembang dan Posisi Strategis Indonesia
Reformasi pajak global ini menghadirkan serangkaian tantangan dan peluang yang kompleks, yang secara signifikan memengaruhi kedaulatan fiskal, strategi investasi, dan potensi penerimaan negara berkembang.
Dampak paling langsung adalah pada efektivitas insentif fiskal. Selama bertahun-tahun, negara berkembang seperti Indonesia mengandalkan tax holiday (pembebasan pajak) dan tax allowance sebagai alat utama untuk menarik Investasi Asing Langsung (FDI). Pilar Dua secara fundamental menumpulkan senjata ini. Bagi MNC yang tunduk pada aturan GloBE, keuntungan dari tax holiday yang menurunkan ETR mereka di bawah 15% akan menjadi sia-sia. Pajak yang "dihemat" di Indonesia pada akhirnya akan tetap harus dibayarkan sebagai pajak tambahan di negara domisili induk perusahaan melalui mekanisme IIR. Akibatnya, insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia secara tidak langsung menjadi subsidi bagi kas negara maju.
Hal ini memaksa negara berkembang untuk melakukan kalibrasi ulang strategi daya saingnya. Persaingan tidak lagi bisa hanya mengandalkan tarif pajak rendah. Fokus harus bergeser ke penyediaan fundamental non-fiskal yang berkelanjutan, seperti kepastian hukum, infrastruktur berkualitas, kemudahan berusaha, dan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah juga dapat merancang insentif yang "ramah Pilar Dua", seperti kredit pajak yang dapat dikembalikan (refundable tax credits) atau hibah tunai (cash grants), yang tidak secara langsung menekan ETR dalam perhitungan GloBE.
Bagi Indonesia secara spesifik, implikasinya sangat signifikan. Sebagai salah satu pasar digital terbesar di dunia, Pilar Satu menawarkan potensi pendapatan baru yang sebelumnya sulit dijangkau dari raksasa teknologi yang beroperasi tanpa kehadiran fisik. Sementara menunggu Pilar Satu, Indonesia telah berhasil menerapkan PPN atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagai sumber pendapatan alternatif dari ekonomi digital. Di sisi Pilar Dua, implementasi QDMTT menjadi sangat krusial sebagai mekanisme pertahanan. Tanpa QDMTT, manfaat dari tax holiday yang masih ditawarkan akan hilang dan mengalir ke negara lain. Dengan QDMTT, Indonesia memastikan bahwa selisih pajak hingga 15% tetap berada di dalam negeri.
Namun, implementasi kedua pilar ini juga membawa beban administratif yang sangat besar. Aturan-aturannya sangat kompleks dan memerlukan sistem pengumpulan serta analisis data yang canggih. Membangun kapasitas teknis dan SDM untuk menerapkan aturan-aturan ini adalah tantangan besar bagi otoritas pajak di negara berkembang. Lebih jauh lagi, reformasi ini memicu perdebatan tentang kedaulatan fiskal, di mana kemampuan negara untuk secara mandiri menggunakan kebijakan pajak sebagai alat pembangunan menjadi terbatas. Hal ini memunculkan suara-suara dari Global South yang mendorong agar perumusan aturan pajak global dilakukan di forum yang lebih inklusif seperti PBB.
Kesimpulan
Dinamika reformasi pajak global yang dipimpin oleh OECD/G20 menandai sebuah titik balik dalam sejarah perpajakan internasional. Solusi Dua Pilar secara fundamental mengubah cara laba dialokasikan dan dikenai pajak di seluruh dunia, dengan tujuan menciptakan sistem yang lebih adil dan stabil untuk era digital. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, reformasi ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka pintu untuk memajaki ekonomi digital yang berkembang pesat dan berpotensi meningkatkan rasio pajak nasional yang secara historis masih rendah. Di sisi lain, ia secara dramatis membatasi ruang kebijakan fiskal dan menuntut pergeseran fundamental dalam strategi menarik investasi. Tantangan ke depan tidak hanya terletak pada pembangunan kapasitas administrasi untuk mengimplementasikan aturan-aturan yang rumit ini, tetapi juga pada kemampuan untuk secara strategis menyesuaikan kebijakan fiskal dan investasi agar tetap kompetitif di tatanan dunia baru, di mana tarif pajak rendah tidak lagi menjadi daya tarik utama.



Comments