top of page
Search

Harga Sebuah Ambisi: Dilema Nikel Indonesia dan Sulitnya Berbagi Kue

ree

Perhatikan dua gambar ini. Di satu sisi, masa depan hijau yang kita impikan: mobil listrik yang senyap meluncur di jalanan kota, ditenagai oleh baterai lithium-ion yang canggih. Di sisi lain, sebuah kenyataan yang kompleks: lautan di sekitar pabrik yang berubah warna menjadi merah pekat karena sedimen, dan cerobong-cerobong asap menjulang dari pabrik-pabrik pengolahan (smelter) yang masif.

Dua gambar ini tidak terpisah. Mereka adalah dua sisi dari koin yang sama. Dan di tengah-tengahnya, berdirilah Indonesia dengan ambisi barunya yang radikal: hilirisasi.

Selama puluhan tahun, Indonesia dikenal sebagai "penjual tanah". Kita mengeruk bijih nikel mentah—tanah merah yang kaya—dari perut bumi Sulawesi dan Maluku, lalu menjualnya apa adanya ke luar negeri. Negara lain yang mengolahnya, negara lain yang mendapat nilai tambah, negara lain yang membuat produk jadinya.

Lalu Presiden Ketujuh, Joko Widodo menggebrak meja. Cukup sudah. Indonesia memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih mentah. Sebuah kebijakan berani yang memaksa dunia untuk datang kepada kita. Jika Anda ingin nikel kami, Anda harus membangun pabriknya di sini.

Kebijakan ini berhasil di luar dugaan. Tiongkok, sebagai "pabrik dunia" yang sangat haus akan nikel untuk baja nirkarat (stainless steel) dan, yang lebih penting, untuk revolusi kendaraan listrik, merespons panggilan itu. Investasi triliunan rupiah mengalir deras, membangun ekosistem industri baru yang kompleks dari nol dalam waktu kurang dari satu dekade.

Kita telah menyaksikan sebuah keajaiban ekonomi. Namun, di balik riuh rendah pembangunan itu, tersembunyi sebuah dilema klasik yang menghantui setiap negosiator ulung: "Dilema Negosiator".

Secara sederhana, dilema ini adalah pertarungan abadi antara dua tujuan: Menciptakan Nilai (membuat kue sebesar mungkin) dan Mengklaim Nilai (berebut siapa yang dapat potongan kue terbesar).

Kasus hilirisasi nikel ini adalah studi kasus paling sempurna di dunia saat ini tentang bagaimana kita bisa sukses luar biasa dalam menciptakan nilai, namun di saat yang sama, gagal total dalam mengklaim nilai secara adil. Ini adalah kisah tentang bagaimana "kue" ekonomi yang kita panggang bersama menjadi raksasa, namun kita mungkin dibiarkan membersihkan dapur yang porak-poranda.

Keajaiban Integratif – Memanggang Kue Raksasa

Mari kita jujur, apa yang dicapai Indonesia dan Tiongkok di level makro adalah sebuah kesuksesan integratif yang menakjubkan. Negosiasi integratif adalah tentang mencari "win-win solution". Ini bukan tentang "saya menang, kamu kalah", tapi tentang "bagaimana kita berdua bisa menang?".

Dan di atas kertas, keduanya menang besar.

Kemenangan Indonesia: Indonesia berhasil mengubah takdirnya. Dari sekadar pengekspor "tanah mentah", kita kini menjadi pemain utama dunia dalam rantai pasok nikel olahan. Bayangkan, sebuah kawasan yang tadinya hutan atau desa nelayan terpencil, kini menjadi pusat industri global.

Nilai ekspor nikel melesat dari "hanya" 1-2 miliar dolar AS per tahun menjadi puluhan miliar dolar. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu, lapangan kerja baru tercipta—mulai dari operator alat berat, insinyur pabrik, hingga ibu-ibu yang membuka warung makan di sekitar kawasan industri. Indonesia berhasil membangun fondasi industri masa depan, dan ini adalah penciptaan nilai yang masif. Kita berhasil "memperbesar kue" ekonomi kita secara drastis.

Kemenangan Tiongkok: Bagi Tiongkok, kemenangan ini tak kalah strategisnya. Industri mereka, terutama sektor baterai EV yang vital bagi masa depan ekonomi mereka, hidup dalam ketakutan akan kelangkaan pasokan. Mereka butuh jaminan pasokan nikel yang stabil, aman, dan jangka panjang.

Dengan berinvestasi langsung di jantung sumber bahan baku terbesar di dunia (Indonesia), Tiongkok mendapatkan "polis asuransi" terbaik yang bisa dibeli. Mereka mengamankan rantai pasok mereka untuk puluhan tahun ke depan.

Ini adalah "win-win" yang jelas. Indonesia mencapai tujuan strategis hilirisasi; Tiongkok mencapai tujuan strategis keamanan pasokan. Kue ekonomi baru telah tercipta, jauh lebih besar dari apa yang bisa dibayangkan sebelumnya.

Mimpi Buruk Distributif – Kerakusan dan Biaya Tersembunyi

Di sinilah letak masalahnya. Setelah kue raksasa itu berhasil dipanggang, babak kedua dari "Dilema Negosiator" dimulai: Mengklaim Nilai, atau negosiasi distributif.

Negosiasi distributif adalah pertarungan "zero-sum". Ini adalah tentang membagi kue yang sudah ada. Setiap potongan yang saya dapat, adalah potongan yang tidak Anda dapat. Dan dalam fase inilah, di balik kesuksesan makro tadi, terjadi kegagalan distributif yang parah dan sistematis.

Fokusnya bergeser dari "menciptakan nilai bersama" menjadi "siapa yang dapat untung paling banyak, dengan biaya paling sedikit?".

Eksternalisasi Biaya: "Saya Ambil Untung, Kamu Ambil Limbahnya"

Ini adalah taktik distributif paling brutal. Para investor, dalam upaya memaksimalkan keuntungan (mengklaim nilai setinggi-tingginya), "mengeksternalisasi" atau membuang biaya operasional mereka ke pihak ketiga yang tidak duduk di meja negosiasi: yaitu masyarakat lokal dan lingkungan.

  • Biaya Lingkungan: Alih-alih membangun fasilitas pengelolaan limbah (tailing) yang mahal namun aman, lebih murah membuangnya ke laut (Deep Sea Tailing Placement - DSTP) atau menimbunnya di darat dengan risiko kebocoran. Deforestasi untuk membuka lahan tambang dan pabrik, polusi udara dari cerobong asap smelter—semua ini adalah "biaya" yang tidak dibayar oleh perusahaan, tetapi ditanggung oleh negara dan paru-paru serta sumber air masyarakat lokal.

  • Biaya Sosial: Konflik sosial meletus di mana-mana. Sengketa lahan antara perusahaan dan masyarakat adat menjadi pemandangan umum. Isu ketenagakerjaan, standar keselamatan kerja yang rendah, dan kesenjangan upah antara pekerja lokal dan asing, semuanya adalah manifestasi dari upaya menekan biaya operasional serendah mungkin.

Di sisi lain, pihak Indonesia mungkin terlalu silau oleh angka investasi dan target ekspor yang fantastis. Kita terlalu fokus pada "kue" yang membesar, sehingga kita lupa menegosiasikan perlindungan yang kuat untuk "dapur" kita—yaitu lingkungan dan rakyat kita sendiri.

Pembagian Kue yang Tidak Adil

Kegagalan distributif tidak hanya soal biaya, tapi juga soal keuntungan. Laporan-laporan investigasi menyebutkan bagaimana struktur bisnis dan finansial dirancang sedemikian rupa sehingga keuntungan terbesar mengalir kembali ke investor asing.

Salah satu indikasinya adalah penetapan Harga Patokan Mineral (HPM) domestik yang seringkali ditekan di bawah harga internasional. Ini menguntungkan smelter (pembeli), namun merugikan penambang nikel lokal (penjual). Ini adalah perebutan klaim nilai yang jelas di mana satu pihak memiliki kekuatan tawar yang jauh lebih besar.

Lihatlah tabel analisis sederhana ini. Kemenangan di satu kolom, dibayar dengan kekalahan di kolom lain.

Aspek

Manifestasi Integratif (Kue Membesar)

Manifestasi Distributif (Pembagian Tak Adil)

Ekonomi

PDB naik, nilai ekspor meroket, industri baru lahir.

Dominasi keuntungan oleh investor asing, harga nikel domestik ditekan.

Sosial

Penciptaan puluhan ribu lapangan kerja baru.

Konflik sengketa lahan, isu K3 (Keselamatan Kerja), kesenjangan upah.

Lingkungan

Pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, listrik.

Biaya polusi udara, kerusakan laut, dan deforestasi ditanggung masyarakat.

Teknologi

Transfer teknologi pengolahan nikel (smelter) hadir di RI.

Ketergantungan tinggi pada teknologi asing, transfer ilmu belum memadai.

Mesin yang Mulai Macet – Saat Biaya Kembali Menghantui

Model yang dibangun di atas fondasi distributif yang tidak adil ini pada dasarnya tidak berkelanjutan. Ia ibarat mobil yang dipacu 200 km/jam tanpa pernah ganti oli. Cepat atau lambat, mesinnya akan rontok. Dan itulah yang mulai terjadi.

Bukti paling nyata adalah berita penghentian atau pengurangan produksi di beberapa smelter besar yang didanai Tiongkok: PT GNI, PT ITSS, PT VDNI, dan PT HNAI.

Apa alasan yang muncul di permukaan? Harga nikel global sedang rendah, terjadi oversupply (ironisnya, karena produksi masif dari Indonesia sendiri), dan biaya listrik yang mahal.

Tapi jika kita gali lebih dalam, ini bukan sekadar masalah eksternal. Ini adalah gejala dari penyakit yang sudah lama diidap.

  • Konflik Sosial: Tragedi ledakan tungku di PT ITSS pada akhir 2023 yang menewaskan puluhan pekerja adalah puncak gunung es dari isu keselamatan kerja yang diabaikan. Kerusuhan buruh di PT GNI yang menewaskan pekerja adalah buah dari konflik sosial yang tak terkelola.

  • Biaya Operasional: Konflik-konflik ini menghentikan produksi. Kerusuhan dan kecelakaan kerja adalah "biaya" yang sangat mahal, yang awalnya mereka coba hindari dengan mengabaikan standar K3.

Biaya-biaya yang mereka "eksternalisasi" (abaikan) di awal—biaya sosial, biaya keselamatan—akhirnya kembali menghantui mereka. Biaya itu kembali dalam bentuk protes, mogok kerja, kecelakaan fatal, dan penghentian operasional.

Kesepakatan yang tampak "win-win" di atas kertas, yang menciptakan nilai ekonomi triliunan rupiah, pada akhirnya mulai menggerogoti dirinya sendiri. Nilai ekonomi itu hancur karena fondasi pembagian nilai dan biayanya tidak adil dan tidak berkelanjutan.

Negosiasi Ulang Masa Depan – Bagaimana Seharusnya?

Kasus nikel ini adalah pelajaran termahal dan paling berharga bagi Indonesia dalam mengelola "Dilema Negosiator". Kita sukses luar biasa dalam menciptakan nilai. Tapi kita gagal dalam mengklaim nilai yang adil dan mencegah eksternalisasi biaya.

Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk investasi di masa depan, entah itu di nikel, bauksit, atau tembaga?

1. Negosiasi Multi-Level: Jangan Hanya Kirim Tim Bisnis

Kesalahan fatal adalah melihat investasi besar hanya sebagai kesepakatan komersial. Negosiasi ini tidak boleh hanya melibatkan pejabat investasi dan eksekutif perusahaan.

Sejak hari pertama, tim negosiasi Indonesia harus melibatkan ahli lingkungan, pakar sosial-hukum, dan perwakilan serikat pekerja. Mereka ada di sana untuk menghitung "biaya tersembunyi".

  • Ahli lingkungan harus menghitung berapa biaya untuk memulihkan sungai yang rusak.

  • Pakar sosial harus memastikan hak-hak masyarakat adat terlindungi dalam kontrak.

  • Pakar hukum harus memastikan klausul K3 dan lingkungan bisa ditegakkan secara hukum, bukan sekadar basa-basi.

2. Klausul Kontrak yang Kuat: "Harga" untuk Merusak

Perjanjian investasi (kontrak) harus melampaui angka nominal triliunan rupiah. Kontrak itu harus memuat klausul ESG (Environmental, Social, and Governance) yang jelas, terukur, dan memiliki sanksi yang menyakitkan.

Bukan lagi sekadar "berkomitmen pada kelestarian." Tapi:

  • "Wajib menggunakan teknologi filter A, B, C dengan standar emisi X."

  • "Wajib membangun fasilitas pengolahan limbah Zero Discharge."

  • "Setiap kecelakaan kerja akibat kelalaian standar akan dikenai denda Y triliun rupiah."

  • "Kewajiban transfer teknologi yang konkret dan terukur dalam 5 tahun."

3. Membangun Kecerdasan Budaya: Pahami Guanxi

Kita tidak bisa bernegosiasi dengan semua mitra dengan cara yang sama. Keberhasilan bernegosiasi dengan mitra dari Tiongkok, misalnya, sangat bergantung pada pemahaman budaya yang mendalam.

  • Pentingnya Guanxi: Dalam budaya Tiongkok, hubungan personal (guanxi) dan kepercayaan seringkali dibangun sebelum negosiasi formal dimulai. Alokasikan waktu untuk membangun hubungan ini.

  • Hierarki dan "Membaca yang Tersirat": Komunikasi seringkali tidak langsung. Menghormati hierarki (mengirim negosiator dengan level senioritas yang setara) adalah kunci. Tim kita harus berisi orang-orang yang peka dan mampu "membaca yang tersirat" dalam sebuah pertemuan.

Kesimpulan: Kue yang Enak, Dapur yang Bersih

Ambisi hilirisasi nikel Indonesia bukanlah sebuah kesalahan. Itu adalah langkah maju yang berani dan perlu. "Kue" ekonomi yang lebih besar itu nyata dan telah memberi makan banyak orang.

Peringatan keras dari kasus ini adalah: Jangan pernah lupakan siapa yang membayar bahan bakunya dan siapa yang harus membersihkan dapurnya.

Tantangan ke depan bukanlah menghentikan investasi, melainkan menjadi negosiator yang lebih cerdas. Kita harus bisa menguasai kedua sisi dari "Dilema Negosiator"—kita harus jago dalam menciptakan nilai (menarik investasi) dan sekaligus jago dalam mengklaim nilai (memastikan pembagian yang adil dan perlindungan total bagi lingkungan dan rakyat).

Pertanyaan kunci yang harus selalu diajukan negosiator kita di masa depan adalah: "Selain harga dan volume, apa lagi yang bisa kita negosiasikan untuk menciptakan nilai jangka panjang dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?"

Kita bisa mendapatkan kue yang besar sekaligus dapur yang bersih. Tapi itu menuntut keberanian, kecerdasan, dan kemauan politik untuk menegosiasikan setiap detailnya—bukan hanya apa yang kita dapatkan, tapi juga apa yang tidak boleh kita korbankan.

 
 
 

Comments


bottom of page