Tantangan Revitalisasi Kebudayaan Betawi di Tengah Tren Komodifikasi Budaya, Romantisme Masa Lalu & Sindrom Penduduk Asli
- Roni Adi
- May 2
- 6 min read

Pendahuluan
Kebudayaan Betawi adalah bagian integral dari identitas Jakarta dan Indonesia. Masyarakat Betawi, sebagai penduduk asli Jakarta, memiliki kekayaan budaya yang unik, mulai dari bahasa, seni, hingga beberapa upacara adat yang terkait dengan peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang Betawi, seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian. Upacara-upacara tersebut antara lain Akeke (selametan kelahiran), Sunatan, Khatam Qur'an, Nikah, Bikin Rume, Nuju Bulan, Nazar, Lebaran, dan Alam Kematian. Namun, di tengah pesatnya perkembangan kota Jakarta yang menjadi pusat modernisasi dan globalisasi, budaya Betawi kini menghadapi tantangan besar, baik dari komodifikasi budaya, romantisme terhadap masa lalu, hingga sindrom sebagai penduduk asli yang merasa terpinggirkan. Semua ini membawa tantangan dalam usaha melestarikan dan memajukan kebudayaan Betawi.
Komodifikasi Budaya dan Tantangannya
Komodifikasi budaya terjadi ketika unsur-unsur kebudayaan dijadikan objek yang dapat diperjualbelikan untuk keuntungan ekonomi. Budaya Betawi yang dahulu hidup dalam komunitas sebagai bagian dari tradisi kini banyak yang dikemas sebagai produk wisata. Hal ini, meskipun memberikan keuntungan ekonomi, dapat mengurangi makna asli dari kebudayaan tersebut. Sebagai contoh, tradisi Palang Pintu dalam pernikahan Betawi, yang mengandung nilai-nilai budaya dan sosial, sering kali hanya dijadikan sekedar atraksi untuk memancing gelak tawa audiensnya tanpa mempertimbangkan konteks budaya yang mendalam (Siregar, 2022). Selain itu fenomena semakin maraknya ondel-ondel yang disewakan untuk mengamen, membuat prihatin banyak budayawan dan masyarakat Betawi karena menilai ondel-ondel hanya dijadikan komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Meskipun di satu sisi, komodifikasi budaya dapat memberikan peluang bagi masyarakat Betawi untuk meningkatkan perekonomian, tetapi di sisi lain, hal ini berisiko membuat kebudayaan Betawi hanya dilihat sebagai atraksi wisata semata, sehingga kehilangan nilai sakral dan menjadi bagian dari fenomena pasar yang serba instan.
Romantisme Masa Lalu: Melestarikan atau Mengikuti Perkembangan Zaman?
Selain komodifikasi, ada juga tren romantisme terhadap masa lalu, di mana kebudayaan Betawi digambarkan dengan cara yang idealistik, seolah-olah hidup dalam kesederhanaan dan kemurnian. Tren ini sering kali menciptakan distorsi, karena ia mengabaikan kenyataan bahwa kebudayaan Betawi seperti halnya kebudayaan lain, terus berkembang seiring waktu. Romantisme ini berpotensi menciptakan gambaran yang tidak realistis tentang kehidupan masyarakat Betawi dan menghambat upaya mereka untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, namun tanpa kehilangan esensinya (Fatmawati, 2021).
Sindrom Penduduk Asli: Menghadapi Perubahan dalam Lingkungan Urban
Sebagai penduduk asli Jakarta, masyarakat Betawi sering kali merasa terpinggirkan di tengah urbanisasi yang pesat. Jakarta, yang dulunya adalah pusat kebudayaan Betawi, kini dipenuhi dengan pendatang dari berbagai daerah yang membawa budaya mereka sendiri. Hal ini menyebabkan kebudayaan Betawi terkadang dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan lagi di tengah kehidupan kota yang modern. Ditambah generasi muda Betawi seringkali merasa lebih dekat dengan budaya luar yang lebih modern dan global (Büscher & Fletcher, 2017).
Perda Pelestarian Budaya Betawi dan UU Pemajuan Kebudayaan Nasional: Upaya Pemajuan dan Pelestarian
Di tengah tantangan-tantangan tersebut, Pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan Perda No. 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Peraturan daerah ini bertujuan untuk melindungi dan mempromosikan kebudayaan Betawi melalui berbagai kebijakan yang melibatkan pendidikan, pelestarian aset budaya, serta pengembangan pariwisata berbasis budaya. Salah satu upaya utama yang dilakukan adalah mengintegrasikan budaya Betawi dalam kurikulum pendidikan lokal dan mendukung pelaksanaan kegiatan budaya seperti festival, pameran, dan pertunjukan seni yang berfokus pada kebudayaan Betawi.
Selain itu, Undang-Undang No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan Nasional juga memberikan dasar hukum yang lebih luas untuk pelestarian dan pemajuan kebudayaan Indonesia, termasuk kebudayaan Betawi. Undang-undang ini menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam upaya pemajuan kebudayaan dan memfasilitasi keberagaman budaya untuk mendukung identitas nasional. Ini memberi ruang bagi kebudayaan Betawi untuk berkembang di tengah arus globalisasi tanpa kehilangan jati dirinya.
Kritik dan Masukan terhadap Implementasi Perda Pelestarian Kebudayaan Betawi di Lapangan
Meskipun Perda No. 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi menjadi tonggak penting dalam usaha melestarikan kebudayaan Betawi, di lapangan masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Betawi, terutama dari perspektif budayawan dan pelaku seni budaya Betawi. Beberapa kritik dan masukan yang disampaikan oleh mereka menunjukkan adanya ketidaksempurnaan dalam implementasi regulasi tersebut. Banyak budayawan Betawi yang menyatakan bahwa implementasi Perda belum sepenuhnya efektif dan perlu ditingkatkan karena kurangnya sosialisasi dan kurangnya keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat, seniman, budayawan dan komunitas Betawi dalam setiap tahapan kebijakan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan program hingga evaluasi. Partisipasi aktif dari masyarakat lokal sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak terputus dari nilai-nilai yang telah ada dalam kebudayaan Betawi.
Beberapa budayawan Betawi juga mengkritik fokus pada aspek fisik seperti arsitektur bangunan bernuansa Betawi, dan kurangnya perhatian pada aspek non-fisik seperti seni, bahasa, dan tradisi. Sementara para pelaku seni Betawi seringkali merasa kurangnya dukungan dan perhatian dari pemerintah terhadap kegiatan seni mereka. Mereka juga mengusulkan agar Perda lebih menekankan pada aspek kreatif dan inovatif dalam melestarikan budaya Betawi, serta memberikan ruang bagi pelaku seni untuk berkreasi.
Pelaku seni dan budayawan Betawi juga mengkritik kurangnya dukungan dari pemerintah dalam hal fasilitas dan pendanaan untuk pengembangan seni budaya Betawi dengan alasan kurangnya alokasi anggaran. Selain itu banyak pelaku seni budaya Betawi mengeluhkan ketidakjelasan implementasi kebijakan pelestarian kebudayaan Betawi di tingkat kelurahan dan kecamatan. Meskipun Perda No. 4 Tahun 2015 sudah ada, dalam praktiknya, banyak daerah yang belum melaksanakan kebijakan tersebut secara maksimal. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam pelestarian kebudayaan Betawi di berbagai wilayah Jakarta, dengan beberapa daerah yang lebih aktif dan beberapa lainnya kurang memperhatikan keberadaan budaya Betawi.
Strategi Pelestarian Kebudayaan Betawi: Mengedepankan Keterlibatan Komunitas dan Inovasi Digital
Pelestarian kebudayaan Betawi tidak hanya membutuhkan regulasi, tetapi juga harus melibatkan partisipasi aktif dari komunitas Betawi itu sendiri. Komunitas harus menjadi aktor utama dalam menjaga dan memajukan kebudayaan mereka. Misalnya, melibatkan Bamus Betawi yang berdiri sejak tahun 1982 sebagai organisasi induk yang mewakili seluruh masyarakat Betawi di Jakarta dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), yang dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 197 tahun 1977 untuk membantu Pemerintah DKI Jakarta dalam mengadakan penelitian, penggalian, pengembangan dan pemeliharaan terhadap nilai–nilai budaya tradisional Betawi.
Selain itu, teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk memperkenalkan kebudayaan Betawi kepada generasi muda dan masyarakat global. Pembuatan dokumentasi digital, seperti video, artikel, dan media sosial, dapat membantu memperkenalkan kebudayaan Betawi dengan cara yang lebih modern dan menarik tanpa mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya (Djenar, Ewing & Manns, 2018).
Beberapa pelaku seni dan pelaku usaha kuliner Betawi yang telah penulis wawancarai beberapa waktu yang lalu juga mengusulkan agar kebudayaan Betawi tidak hanya dipertahankan dalam bentuk tradisional, tetapi juga perlu didorong untuk berkembang melalui inovasi dan kreasi baru dalam bentuk yang lebih kontemporer, seperti teater, musik, dan kuliner Betawi yang dikemas lebih modern. Dengan cara ini, kebudayaan Betawi dapat terus relevan dalam kehidupan sosial yang semakin dinamis.
Menjaga Keaslian dan Relevansi Kebudayaan Betawi
Untuk memastikan bahwa kebudayaan Betawi tetap relevan, penting bagi pelestariannya untuk tidak hanya berfokus pada "melestarikan" tetapi juga "memajukan" kebudayaan tersebut. Ini berarti, kebudayaan Betawi harus terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa mengorbankan nilai-nilai inti yang menjadi ciri khas budaya Betawi. Dengan kata lain, pelestarian budaya bukan hanya tentang melestarikan apa yang sudah ada, tetapi juga tentang menciptakan ruang untuk inovasi dan interpretasi baru yang dapat menjaga eksistensi budaya Betawi di masa depan.
Kesimpulan
Tantangan dalam revitalisasi kebudayaan Betawi tidak hanya berasal dari faktor eksternal seperti komodifikasi budaya dan romantisme masa lalu, tetapi juga dari perasaan terpinggirkan yang dialami oleh masyarakat Betawi sendiri di tengah urbanisasi yang pesat. Namun, melalui peraturan daerah seperti Perda No. 4 Tahun 2015 dan kebijakan nasional dalam UU No. 5 Tahun 2017, ada peluang untuk melestarikan dan memajukan kebudayaan Betawi dengan cara yang relevan dan berkelanjutan. Keterlibatan aktif dari komunitas Betawi, pemanfaatan teknologi, dan pemahaman yang lebih dalam mengenai dinamika budaya ini akan memastikan bahwa kebudayaan Betawi tidak hanya terjaga, tetapi juga tetap relevan, lestari dan terus berkembang sesuai dengan dinamika zaman di tengah arus globalisasi.
Referensi:
Perda No. 4 Tahun 2015. Pelestarian Kebudayaan Betawi. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
UU No. 5 Tahun 2017. Pemajuan Kebudayaan Nasional. Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Büscher, B., & Fletcher, R. (2017). Destructive creation: Capital accumulation and the structural violence of tourism. Journal of Sustainable Tourism, 25(5), 651-667. https://doi.org/10.1080/09669582.2016.1159214
Djenar, D. N., Ewing, M. C., & Manns, H. (2018). Style and Intersubjectivity in Youth Interaction. Sociology of Language and Culture.
Fatmawati, E. (2021). Strategies to grow a proud attitude towards Indonesian cultural diversity. Linguistics and Culture Review, 5(S1), 810-820. https://doi.org/10.37028/lingcure.v5nS1.1465
Siregar, I. (2022). Semiotics Analysis in The Betawi Traditional Wedding "Palang Pintu": The Study of Semiotics Roland Barthes. International Journal of Linguistics Studies. 10.32996/ijls.2022.2.1.1.
コメント