Quo Vadis Kebijakan Ekonomi Maritim Indonesia?
- Roni Adi
- Oct 14
- 7 min read

Indonesia adalah sebuah paradoks. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau, laut seharusnya menjadi halaman depan, urat nadi kehidupan, dan sumber kemakmuran tanpa batas. Sebuah visi agung untuk membangkitkan potensi ini telah dicanangkan melalui doktrin "Poros Maritim Dunia" (PMD), sebuah janji untuk menjadikan Indonesia sebagai raksasa maritim yang berdaulat, maju, dan kuat di panggung global. Namun, satu dekade setelah visi ini digaungkan, sebuah pertanyaan fundamental menggema: Quo Vadis? Ke manakah arah kebijakan ini berlabuh?
Analisis mendalam terhadap data dan implementasi kebijakan menunjukkan sebuah kesenjangan yang menganga antara ambisi besar di atas kertas dengan realitas di lapangan. Alih-alih berlari kencang, ekonomi maritim Indonesia tampak seperti raksasa yang masih tertidur lelap, terbelenggu oleh benang kusut permasalahan sistemik. Kontribusinya terhadap perekonomian nasional secara konsisten berada di bawah potensi masifnya, sementara program-program unggulan yang diluncurkan sering kali lebih bersifat retoris daripada substantif. Artikel ini akan mengurai benang kusut tersebut, memetakan tantangan, dan menelaah jalan keluar untuk benar-benar membangunkan raksasa maritim Nusantara.
Visi Besar di Atas Kertas: Arsitektur Kebijakan yang Holistik
Tidak ada yang salah dengan mimpi besar. Visi Poros Maritim Dunia yang diperkenalkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo adalah sebuah upaya strategis untuk mengorientasikan kembali fokus pembangunan Indonesia dari paradigma kontinental yang dominan menjadi perspektif maritim. Visi ini dilembagakan secara komprehensif melalui serangkaian arsitektur hukum dan kebijakan yang canggih.
Landasan utamanya adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Dokumen ini berfungsi sebagai "pedoman umum" bagi seluruh kementerian dan pemerintah daerah, merumuskan tujuan luhur untuk menjadikan Indonesia negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, dan kuat. KKI dibangun di atas tujuh pilar utama yang mencakup hampir semua aspek kemaritiman:
Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan SDM
Pertahanan, Keamanan, dan Penegakan Hukum di Laut
Tata Kelola dan Kelembagaan Kelautan
Ekonomi dan Infrastruktur Kelautan
Pengelolaan Ruang Laut dan Perlindungan Lingkungan
Budaya Bahari
Diplomasi Maritim
Untuk memastikan implementasinya terukur, kebijakan ini dilengkapi rencana aksi lima tahunan yang sangat detail, terakhir diperbarui melalui Perpres Nomor 34 Tahun 2022. Secara konseptual, kerangka ini menunjukkan pemahaman pemerintah yang holistik terhadap kompleksitas pembangunan maritim. Bahkan, secara visioner, kebijakan ini telah menyertakan prinsip "Ekonomi Biru" (Blue Economy), sebuah paradigma pembangunan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kesehatan ekosistem laut. Seiring waktu, diskursus kebijakan memang telah bergeser dari narasi geopolitik PMD menuju narasi Ekonomi Biru yang lebih berfokus pada keberlanjutan. Namun, di sinilah paradoks pertama muncul: keluasan cakupan yang ideal di atas kertas justru menjadi tantangan implementasi yang luar biasa besar di lapangan.
Realitas di Lapangan: Jurang Kinerja dan Program yang "Bocor"
Jika arsitektur kebijakannya begitu megah, mengapa hasilnya belum sepadan? Data kinerja ekonomi menjadi bukti paling nyata dari jurang antara potensi dan realitas.
Secara konsisten, kontribusi sektor maritim terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih mandek di bawah 10%. Subsektor perikanan, yang sering dianggap tulang punggung, hanya menyumbang sekitar 2,66% pada tahun 2023. Angka ini sangat jauh dari potensi yang diperkirakan bisa menciptakan hingga 45 juta lapangan kerja. Kenyataannya, pada tahun 2022, hanya sekitar 1,68 juta penduduk yang tercatat bekerja di sektor maritim. Ini bukan lagi sekadar "potensi yang belum terealisasi", melainkan sebuah "kegagalan konversi struktural"—ketidakmampuan sistemik untuk mengubah sumber daya alam menjadi nilai ekonomi dan lapangan kerja yang nyata.
Kondisi ini diperparah oleh "defisit data yang kronis". Meskipun pemerintah telah mengidentifikasi 12 klaster maritim untuk pemetaan ekonomi, ketiadaan data yang konsisten dan komprehensif menghalangi perumusan kebijakan berbasis bukti yang efektif.
Evaluasi terhadap program-program strategis pun menyingkapkan pola yang sama: ambisi besar dengan dampak terbatas akibat kelemahan desain yang fundamental.
Program Tol Laut: Jalur Penghubung yang Masih Bocor
Diluncurkan pada 2015, program Tol Laut bertujuan mulia: mengurangi disparitas harga antara wilayah barat dan timur Indonesia melalui layanan pelayaran bersubsidi. Skalanya sangat masif, berkembang dari 3 trayek pada 2015 menjadi 39 trayek pada 2023. Program ini memang menunjukkan beberapa hasil positif, seperti penurunan harga kebutuhan pokok antara 11-20% di beberapa daerah studi.
Namun, kelemahan paling mendasarnya adalah masalah muatan balik (return cargo) yang sangat timpang. Kapal-kapal berlayar dari barat dengan muatan penuh, namun kembali dalam keadaan nyaris kosong karena minimnya produk dari daerah 3TP (Tertinggal, Terpencil, Terluar, dan Perbatasan) untuk diangkut kembali. Data tahun 2020 menunjukkan volume muatan berangkat 3,2 kali lebih banyak dari muatan balik. Akibatnya, operasional kapal menjadi sangat tidak efisien dan bergantung pada subsidi pemerintah yang besar dan boros. Subsidi ini ibarat mengisi "ember yang bocor"; manfaatnya banyak hilang sebelum sampai ke konsumen akhir karena masalah tidak hanya di laut, tetapi juga di darat.
Perang Melawan IUU Fishing: Aksi Spektakuler, Reformasi Minimal
Kebijakan pemberantasan penangkapan ikan ilegal (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) melalui penenggelaman kapal asing menjadi ikon kedaulatan maritim pada awal era PMD. Aksi ini terbukti berhasil menciptakan efek gentar (deterrent effect) yang kuat dan sangat populer di dalam negeri sebagai penegasan kedaulatan.
Namun, para analis menilai kebijakan ini berisiko menjadi "kebijakan performatif". Ia menyasar gejala (kapal asing) tetapi tidak menyentuh penyakitnya, yaitu kelemahan sistemik dalam perizinan, pengawasan, dan penegakan hukum maritim secara keseluruhan. Tanpa reformasi kelembagaan yang mendalam, efek gentar ini berisiko memudar seiring waktu.
Akar Masalah: Lingkaran Setan yang Membelenggu
Kegagalan program-program di atas dan rendahnya kinerja ekonomi bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Mereka adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam, sebuah lingkaran setan yang saling terkait dan membelenggu kemajuan maritim Indonesia.
Tata Kelola dan Kelembagaan yang Lemah: Ini adalah episentrum dari segala masalah. Ego sektoral antar kementerian dan lembaga masih sangat kental, mengakibatkan kebijakan yang terfragmentasi, tumpang tindih, bahkan saling bertentangan. Koordinasi yang buruk ini menjadi penghambat utama, membuat rencana holistik di atas kertas mustahil dieksekusi secara sinergis di lapangan.
Defisit Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM): Infrastruktur pelabuhan yang tidak memadai, kapasitas gudang pendingin (cold storage) yang terbatas, dan konektivitas darat yang buruk menyebabkan biaya logistik nasional menjadi sangat tinggi. Inilah mengapa subsidi Tol Laut seolah lenyap begitu saja; biaya transportasi laut yang ditekan kembali membengkak oleh biaya bongkar muat dan transportasi darat yang mahal. Di sisi lain, ada kekurangan tenaga kerja terampil yang kritis, mulai dari pelaut modern hingga ahli hukum laut, yang menghambat inovasi dan adopsi teknologi.
Degradasi Lingkungan yang Mengkhawatirkan: Paradoks Ekonomi Biru terletak di sini: basis dari potensi ekonomi, yaitu ekosistem laut yang sehat, justru sedang tergerus hebat. Penangkapan ikan berlebih (overfishing), polusi laut yang 80%-nya berasal dari daratan (termasuk jutaan ton sampah plastik setiap tahun), dan dampak perubahan iklim seperti pemutihan karang, secara langsung merusak aset utama ekonomi maritim itu sendiri. Fenomena "blue grabbing", di mana sumber daya laut dieksploitasi oleh aktor kuat dengan mengorbankan masyarakat lokal dan kelestarian, juga menjadi ancaman serius.
Minimnya Investasi dan Ketidakpastian Regulasi: Kombinasi dari tata kelola yang lemah, infrastruktur yang buruk, dan regulasi yang sering berubah menciptakan ketidakpastian yang tinggi bagi investor. Akibatnya, investasi yang sangat dibutuhkan untuk membangun industri bernilai tambah (seperti pengolahan ikan) dan sektor berkelanjutan (seperti energi terbarukan laut) menjadi terhambat.
Lingkaran setan ini bekerja sebagai berikut: infrastruktur yang buruk dan tata kelola yang lemah menghambat investasi. Kurangnya investasi mendorong praktik eksploitatif yang tidak berkelanjutan. Praktik ini menyebabkan degradasi lingkungan, yang pada gilirannya mengurangi potensi ekonomi dan semakin menghalangi investasi.
Menuju Samudra Harapan: Rekomendasi untuk Poros Baru
Dengan target kontribusi PDB maritim sebesar 12,5% pada Visi Indonesia Emas 2045, melanjutkan trajektori saat ini adalah resep pasti untuk kegagalan. Diperlukan sebuah perubahan paradigma fundamental, sebuah poros strategis yang beralih dari program-program terisolasi menuju kerangka Ekonomi Biru yang terintegrasi dan didukung oleh reformasi tata kelola yang kokoh. Laporan analisis dan studi komparatif dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand menyarankan empat pilar reformasi strategis.
1. Dari Visi ke Eksekusi: Reformasi Radikal Tata Kelola
Akar masalah harus dicabut terlebih dahulu. Pemerintah perlu membentuk sebuah unit pelaksana (delivery unit) yang kuat di bawah otoritas langsung presiden, dengan mandat untuk memecah silo kelembagaan, menegakkan koordinasi, dan menyelesaikan konflik antar lembaga. Selain itu, kebijakan harus berbasis data terpadu untuk memastikan perancangan, penganggaran, dan evaluasi program dilakukan secara objektif.
2. Investasi Cerdas, Bukan Subsidi Boros
Fokus program Tol Laut harus digeser secara bertahap dari subsidi operasional yang boros menuju investasi modal yang ditargetkan pada infrastruktur "last-mile". Ini berarti modernisasi peralatan bongkar muat di pelabuhan kecil, pembangunan gudang dan fasilitas rantai dingin, serta perbaikan akses jalan di daerah 3TP. Untuk membiayainya, skema pembiayaan inovatif seperti Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan penerbitan Obligasi Biru (Blue Bonds), seperti yang dirintis Thailand, perlu dijajaki untuk menarik modal swasta.
3. Manusia dan Teknologi sebagai Juru Mudi
Investasi masif pada SDM dan teknologi adalah kunci. Kurikulum pendidikan vokasi (SMK) dan politeknik harus direformasi untuk menghasilkan tenaga kerja yang kompeten di bidang pelayaran modern, akuakultur berkelanjutan, dan pariwisata bahari. Pemerintah juga perlu memberikan insentif fiskal dan kemudahan regulasi untuk mendorong riset dan adopsi teknologi di bidang logistik rantai dingin, energi terbarukan laut, dan bioteknologi untuk membangun Ekonomi Biru yang berdaya saing.
4. Menerapkan Kerangka Ekonomi Biru yang Sejati
Ini adalah tujuan akhirnya. Pemerintah harus bergerak melampaui retorika dengan mengimplementasikan Perencanaan Tata Ruang Laut (Marine Spatial Planning - MSP) secara nasional. MSP adalah alat penting untuk menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang laut antara sektor ekonomi (perikanan, pariwisata, energi) dan konservasi. Di saat yang sama, penegakan hukum lingkungan terhadap sumber-sumber polusi laut dari darat harus diperkuat secara tegas, dengan menerapkan prinsip "pencemar membayar" (polluter pays principle).
Kesimpulan: Memilih Model Tata Kelola Baru
Kebijakan maritim Indonesia kini berada di sebuah titik penentuan. Jawaban atas pertanyaan Quo Vadis? bukanlah memilih program-program baru yang spektakuler, melainkan memilih model tata kelola baru. Keberhasilan visi Poros Maritim Dunia tidak bergantung pada seberapa banyak kapal yang disubsidi atau ditenggelamkan, tetapi pada keberanian untuk melakukan reformasi struktural yang sulit, memprioritaskan investasi strategis di atas subsidi yang tidak efektif, dan menempatkan keberlanjutan sebagai fondasi utama dari seluruh arsitektur pembangunan.
Raksasa maritim Indonesia memang masih tertidur. Namun, potensinya tidak pernah hilang. Dengan membenahi tata kelola, berinvestasi pada infrastruktur dan manusia, serta secara tulus mengadopsi prinsip Ekonomi Biru, Indonesia dapat mengurai benang kusut yang selama ini membelenggunya dan akhirnya berlayar dari visi ambisius menuju realitas kemakmuran yang berkelanjutan.



Comments