top of page
Search

Masa Depan Samudra Indonesia: Memetakan Ulang Rantai Pasok Perikanan untuk Ekonomi Biru yang Berkelanjutan

ree

Indonesia adalah bangsa yang lahir dari laut. Dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa, takdir bangsa ini terjalin erat dengan samudra yang membentang luas. Lautan bukan hanya sumber keanekaragaman hayati terkaya di dunia, tetapi juga denyut nadi kehidupan bagi jutaan rakyatnya, menyediakan pangan, pekerjaan, dan identitas budaya. Dari kekayaan inilah lahir sebuah mimpi besar: Ekonomi Biru.

Ekonomi Biru adalah sebuah visi di mana pemanfaatan sumber daya laut berjalan selaras dengan kelestariannya. Ini adalah sebuah janji pertumbuhan ekonomi yang tidak merusak, kesejahteraan yang merata, dan ekosistem laut yang sehat untuk generasi mendatang. Pemerintah Indonesia telah menjadikan visi ini sebagai kompas pembangunan nasional, yang tertuang dalam Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023-2045. Targetnya pun ambisius: meningkatkan kontribusi sektor maritim terhadap PDB nasional hingga 15% dan melindungi 30% wilayah perairan pada tahun 2045 (BAPPENAS, 2024).

Namun, di antara mimpi besar dan kenyataan di lapangan, terbentang jurang yang dalam. Sektor perikanan, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi biru, justru terjebak dalam sebuah lingkaran setan. Rantai pasok yang kusut, kerugian pascapanen yang masif, teknologi yang tertinggal, dan mekanisme keuangan yang salah arah telah memerangkap komunitas pesisir dalam kemiskinan sekaligus mendorong eksploitasi sumber daya ikan secara berlebihan.

Anatomi Sistem yang Bermasalah: Perjalanan Panjang Ikan dari Laut ke Meja Makan

Untuk memahami mengapa sektor perikanan Indonesia belum mencapai potensinya, kita perlu menelusuri perjalanan seekor ikan dari saat ditangkap hingga sampai ke tangan konsumen. Perjalanan ini, yang dikenal sebagai rantai pasok, ternyata sangat panjang, rumit, dan penuh inefisiensi.

Rantai ini dimulai dari nelayan skala kecil, yang menyumbang lebih dari 90% total produksi perikanan nasional. Setelah mendaratkan hasil tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), mereka umumnya menjualnya kepada tengkulak atau pengepul. Dari sana, ikan berpindah tangan lagi ke pedagang grosir, pabrik pengolahan, pengecer, hingga eksportir. Struktur berlapis ini menciptakan distorsi harga dan asimetri informasi, di mana nelayan berada di posisi tawar yang paling lemah.

Tengkulak sering kali dianggap sebagai biang keladi, namun peran mereka sebenarnya adalah gejala dari kegagalan sistem yang lebih besar. Nelayan bergantung pada mereka karena tidak memiliki akses langsung ke lembaga keuangan formal, informasi pasar, atau infrastruktur yang memadai untuk menyimpan dan mengangkut hasil tangkapan mereka. Secara efektif, tengkulak mengisi kekosongan yang gagal diisi oleh pasar dan negara. Oleh karena itu, solusi yang berkelanjutan bukanlah sekadar menyingkirkan mereka, melainkan membangun sistem alternatif yang lebih efisien, seperti platform digital yang menghubungkan nelayan langsung ke pembeli, yang kini mulai dirintis oleh perusahaan rintisan seperti Aruna.

Kelemahan sistemik ini diperparah oleh defisit infrastruktur yang parah. Kurangnya fasilitas rantai dingin—seperti es dan gudang pendingin—menyebabkan tingkat kerugian pascapanen yang sangat tinggi. Diperkirakan hingga 35% hasil tangkapan hilang atau rusak sebelum sempat dikonsumsi, sebuah angka yang mencengangkan di kawasan Asia Tenggara. Ini bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga pemborosan sumber daya alam yang berharga.

Menghadapi Badai: Kerentanan terhadap Guncangan Iklim dan Ekonomi

Sistem yang rapuh ini menjadi semakin rentan ketika dihadapkan pada berbagai guncangan. Perubahan iklim bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan pahit yang dihadapi nelayan setiap hari. Kenaikan suhu laut, meningkatnya frekuensi badai, dan pola cuaca yang tak menentu telah mengubah musim penangkapan ikan tradisional, memaksa nelayan berlayar lebih jauh dengan risiko lebih besar untuk hasil yang lebih sedikit . Fenomena seperti El Niño dapat menyebabkan pergeseran drastis pada hasil tangkapan, di mana satu wilayah bisa mengalami panen raya sementara wilayah lain nyaris tanpa hasil sama sekali.

Guncangan ekonomi juga memberikan pukulan telak. Bahan bakar menyumbang 50-70% dari total biaya operasional nelayan. Ketika harga bahan bakar global melonjak, pendapatan mereka langsung anjlok. Subsidi bahan bakar dari pemerintah, yang seharusnya menjadi jaring pengaman, sering kali tidak tepat sasaran dan tidak cukup untuk menutupi kerugian, bahkan cenderung lebih menguntungkan kapal-kapal besar.

Tragedi tsunami Samudra Hindia tahun 2004 menjadi pelajaran paling keras tentang betapa rentannya sistem ini. Bencana tersebut melenyapkan hampir seluruh infrastruktur perikanan di Aceh. Upaya rehabilitasi besar-besaran yang menyusul, sayangnya, banyak diwarnai oleh bantuan yang tidak terkoordinasi dan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Fokusnya hanya pada penggantian aset yang hilang, tanpa memperbaiki kelemahan sistemik yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, komunitas yang dibangun kembali tetap rentan terhadap guncangan di masa depan.

Tiga Pilar Transformasi: Membangun Kembali dari Fondasi

Untuk keluar dari krisis ini, diperlukan pendekatan terpadu yang menyentuh tiga pilar fundamental: manusia, modal, dan teknologi.

1. Pilar Manusia: Dari Kerentanan Menuju Kemandirian

Manusia adalah jantung dari setiap rantai pasok. Namun, kondisi tenaga kerja di sektor perikanan Indonesia sangat memprihatinkan. Sebagian besar nelayan memiliki tingkat pendidikan formal yang rendah dan kurangnya kompetensi untuk mengadopsi teknologi modern. Lebih dari itu, kondisi kerja mereka berbahaya dan tidak menentu. Sebuah survei oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2024 menemukan bahwa kontrak kerja tertulis sangat jarang dimiliki nelayan, dan akses terhadap jaminan sosial sangat rendah.

Kondisi sosial-ekonomi yang buruk ini secara langsung mendorong praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan. Sebuah studi di Sulawesi Selatan menunjukkan hubungan yang jelas antara ketidakamanan finansial nelayan dengan keengganan mereka untuk mengadopsi metode yang ramah lingkungan. Ketika terjerat utang dan kemiskinan, prioritas utama mereka adalah bertahan hidup hari ini, bukan melestarikan sumber daya untuk esok hari.

Namun, di tengah tantangan ini, ada secercah harapan yang datang dari kekuatan komunitas dan kearifan lokal. Sistem tradisional seperti sasi di Maluku, di mana masyarakat secara kolektif menutup area penangkapan ikan untuk sementara waktu agar stok ikan pulih, adalah bukti nyata perpaduan pengetahuan adat dengan pengelolaan lingkungan. Membangun di atas fondasi ini, pendekatan seperti pengelolaan bersama secara adaptif (adaptive co-management)—yang melibatkan pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan komunitas lokal—menjadi jalan yang menjanjikan. Investasi pada pilar manusia harus melampaui sekadar pelatihan teknis; ia harus fokus pada pembangunan kapasitas adaptif yang holistik, mencakup keamanan finansial, dukungan sosial, dan kepercayaan kelembagaan.

2. Pilar Keuangan: Mendorong Pertumbuhan yang Bertanggung Jawab

Aliran modal adalah darah bagi rantai pasok. Saat ini, arsitektur keuangan di sektor perikanan Indonesia tidak memadai dan salah sasaran. Subsidi bahan bakar, seperti yang telah dibahas, lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat. Di sisi lain, minimnya akses terhadap modal formal memaksa nelayan bergantung pada kredit informal dari tengkulak, yang menjerat mereka dalam lingkaran utang.

Kini, Indonesia mulai beralih ke instrumen keuangan inovatif yang dirancang untuk menyelaraskan modal dengan tujuan keberlanjutan. Salah satu contohnya adalah Obligasi Berdampak (Impact Bond) yang dipelopori oleh LSM Rare di Sulawesi Tenggara. Dalam model ini, investor swasta dan filantropi menyediakan dana di muka untuk kegiatan konservasi dan peningkatan mata pencaharian. Pengembalian finansial bagi investor kemudian dibayarkan oleh "pembayar hasil" (pemerintah atau yayasan) hanya jika target yang telah ditentukan—seperti peningkatan biomassa ikan—tercapai dan terverifikasi secara independen.

Selain itu, instrumen seperti Obligasi Biru (Blue Bonds) dan skema Keuangan Campuran (Blended Finance) yang menggabungkan dana publik, swasta, dan filantropi, sedang dikembangkan secara aktif oleh pemerintah. Program berskala besar seperti proyek LAUTRA dari Bank Dunia juga menyalurkan dana signifikan untuk mendukung pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Instrumen-instrumen baru ini berfungsi lebih dari sekadar sumber modal; mereka bertindak sebagai pendorong perilaku. Tidak seperti subsidi yang mendorong satu perilaku merusak, obligasi berdampak membayar untuk hasil yang holistik dan berkelanjutan.

3. Pilar Rekayasa dan Teknologi: Membangun Rantai yang Cerdas dan Tangguh

Sektor perikanan Indonesia sebagian besar masih berteknologi rendah, yang menjadi akar dari banyak inefisiensi kronis. Namun, serangkaian teknologi transformatif kini menawarkan potensi untuk membangun rantai pasok yang modern, cerdas, dan tangguh.

  • Logistik Rantai Dingin dan IoT: Ketiadaan rantai dingin yang efektif adalah hambatan fisik paling kritis. Teknologi Internet of Things (IoT) menawarkan solusi. Sensor berbiaya rendah dapat dipasang di gudang, truk, dan kontainer untuk memantau suhu secara real-time, memastikan kualitas produk, dan mengurangi pembusukan.

  • Ketertelusuran dengan Blockchain: Untuk memerangi penangkapan ikan ilegal (IUU fishing) dan memenuhi persyaratan pasar ekspor yang ketat, teknologi blockchain menyediakan solusi yang kuat. Dengan menciptakan buku besar digital yang tidak dapat diubah, blockchain dapat melacak produk ikan dari titik tangkap hingga ke konsumen akhir, mencatat setiap transaksi di sepanjang jalan.

  • Data untuk Manajemen Adaptif: Teknologi sangat penting untuk mengatasi defisit data kronis di sektor ini. Sistem inovatif seperti Crew-Operated Data Recording System (CODRS) dari The Nature Conservancy, di mana nelayan menggunakan ponsel untuk memotret dan mengukur hasil tangkapan mereka, menghasilkan data granular yang diperlukan untuk pengelolaan yang efektif.

  • Produktivitas dengan AI dan IoT: Di subsektor akuakultur, perusahaan rintisan seperti Jala menunjukkan potensi revolusioner dari Kecerdasan Buatan (AI) dan IoT. Alat pemberi pakan otomatis menggunakan sensor untuk mendeteksi tingkat lapar ikan dan mengoptimalkan pemberian pakan, mengurangi limbah pakan hingga 30%. Aplikasi selulernya, yang didukung oleh AI, berfungsi sebagai asisten virtual yang memberikan data kualitas air dan saran ahli secara real-time kepada para petambak.

Teknologi adalah sistem saraf pusat dari Model ASSC. Ia menciptakan aliran data, transparansi, dan efisiensi yang membuat model keuangan baru menjadi layak dan strategi pengembangan SDM menjadi efektif.

Siklus Positif dalam Aksi: Kerangka Kerja ASSC

Kekuatan Model ASSC tidak terletak pada pilar-pilar individual, tetapi pada interaksi dinamis di antara ketiganya, yang menciptakan sebuah siklus positif (virtuous cycle).

Bayangkan skenario ini: sebuah instrumen keuangan inovatif (Pilar Keuangan) mendanai sebuah koperasi nelayan untuk membeli kotak pendingin cerdas yang dilengkapi IoT (Pilar Rekayasa). Teknologi ini secara instan menghasilkan data yang dapat diverifikasi tentang kualitas dan lokasi penangkapan ikan. Data ini mengurangi risiko bagi para pemodal dan memungkinkan koperasi membuktikan bahwa produk mereka berkelanjutan. Bukti ini membuka akses ke pasar premium dengan harga yang lebih tinggi. Pendapatan yang meningkat ini kemudian kembali kepada para nelayan, meningkatkan keamanan finansial mereka. Dengan stabilitas ekonomi dan akses informasi pasar, para nelayan kini lebih berdaya dan termotivasi untuk mengadopsi praktik berkelanjutan lainnya (Pilar SDM), yang memulai siklus positif berikutnya.

Di sisi lain, investasi pada pelatihan dan literasi digital (Pilar SDM) memastikan bahwa teknologi baru seperti aplikasi AI untuk petambak dapat digunakan secara maksimal. Penggunaan yang efektif ini memaksimalkan laba atas investasi teknologi (Pilar Rekayasa), yang menghasilkan keuntungan ekonomi. Keuntungan ini kemudian dapat diinvestasikan kembali ke dalam komunitas melalui upah yang lebih baik dan program pengembangan SDM lebih lanjut.

Data yang dihasilkan oleh semua teknologi ini (Pilar Rekayasa) menjadi bahan bakar penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih baik dan berbasis bukti, seperti menetapkan kuota penangkapan yang dinamis. Tata kelola yang lebih baik ini menciptakan lingkungan yang stabil dan dapat diprediksi, yang pada gilirannya menarik lebih banyak investasi jangka panjang yang bertanggung jawab (Pilar Keuangan) dan meningkatkan rasa aman bagi para nelayan (Pilar SDM).

Kesimpulan: Menuju Arah Baru yang Sejahtera dan Berkelanjutan

Ambisi Indonesia untuk membangun ekonomi biru terkemuka di dunia dapat tercapai. Namun, pendekatan yang biasa-biasa saja, yang ditandai oleh upaya yang terfragmentasi dan pemikiran yang terkotak-kotak, tidak akan cukup. Rantai pasok saat ini terperangkap dalam jebakan di mana kemiskinan mendorong praktik yang tidak berkelanjutan, dan kerusakan lingkungan justru memperdalam kemiskinan.

Memutus siklus ini membutuhkan perubahan paradigma yang fundamental. Model Rantai Pasok Adaptif dan Berkelanjutan (ASSC) menyediakan kerangka strategis untuk transformasi ini. Dengan secara sistematis dan sinergis mengembangkan tiga pilar inti—Sumber Daya Manusia, Keuangan, dan Rekayasa—model ini menciptakan siklus positif yang saling membangun.

Implementasinya tidak akan mudah. Ini membutuhkan reformasi kebijakan yang berani, investasi strategis dari publik dan swasta, serta kolaborasi yang mendalam antar sektor. Namun, biaya jika tidak bertindak—penipisan sumber daya yang terus berlanjut, kemiskinan yang mengakar di komunitas pesisir, dan kegagalan mewujudkan potensi ekonomi bangsa—jauh lebih besar. Dengan merangkul pendekatan berbasis sistem yang terintegrasi, Indonesia dapat menavigasi kompleksitas ekonomi samudra abad ke-21, mengamankan masa depan yang berkelanjutan dan sejahtera untuk perikanan maritimnya, dan mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin global sejati dalam ekonomi biru.

 
 
 

Comments


bottom of page