top of page
Search

Laut, Uang, dan Keadilan: Menavigasi Mimpi Ekonomi Biru Indonesia

ree

Indonesia adalah negara yang lahir dari laut. Dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa, lautan bukanlah sekadar latar belakang geografis, melainkan urat nadi kehidupan, budaya, dan ekonomi bangsa. Kini, pemerintah Indonesia memiliki sebuah mimpi besar yang tertuang dalam konsep "Ekonomi Biru"—sebuah strategi ambisius untuk mengubah potensi maritim yang luar biasa ini menjadi mesin penggerak menuju status negara maju pada Visi Indonesia Emas 2045. Potensinya tidak main-main, diperkirakan mencapai lebih dari 1,3 triliun dolar AS.

Namun, di balik angka-angka fantastis dan janji kemakmuran, terdapat sebuah tantangan fundamental yang sering kali terabaikan. Bayangkan sebuah kursi dengan tiga kaki. Agar bisa duduk dengan stabil, ketiga kakinya harus seimbang. Jika salah satu kaki terlalu panjang atau terlalu pendek, kursi itu akan goyah dan bahkan roboh. Ekonomi Biru Indonesia berdiri di atas tiga "kaki" yang serupa: Kekayaan Laut (pertumbuhan ekonomi), Kesehatan Laut (kelestarian lingkungan), dan Keadilan Laut (kesejahteraan sosial bagi masyarakat pesisir).

Secara teori, ketiga pilar ini seharusnya saling menguatkan. Laut yang sehat akan menghasilkan lebih banyak ikan (Kekayaan) dan menopang kehidupan nelayan (Keadilan). Namun dalam praktiknya, Indonesia terjebak dalam sebuah "trilema"—sebuah tarik-menarik yang kompleks di mana kebijakan yang dirancang untuk mendongkrak satu pilar justru sering kali mengorbankan pilar lainnya. Artikel ini akan membawa Anda menyelami trilema ini, melihat bagaimana mimpi besar Ekonomi Biru dihadapkan pada realitas di lapangan, dan bagaimana pasar global menjadi wasit yang menentukan arah masa depan laut kita.

Tiga Pilar Mimpi Biru: Sebuah Janji yang Rapuh

Untuk memahami tantangan yang ada, kita perlu membedah ketiga pilar yang menopang visi Ekonomi Biru.

1. Kesehatan Laut: Rekening Bank Alami Kita

Pilar pertama dan yang paling mendasar adalah Kesehatan Laut. Anggaplah lautan sebagai rekening bank alami raksasa. Semua kekayaan yang bisa kita ambil—ikan, pariwisata, bioteknologi—adalah bunga dari modal yang tersimpan di dalamnya, yaitu ekosistem yang sehat. Modal ini mencakup terumbu karang yang berwarna-warni, hutan bakau yang kokoh, dan stok ikan yang melimpah.

Sayangnya, rekening ini sedang terancam. Data menunjukkan gambaran yang suram:

  • Stok Ikan Menipis: Sekitar sepertiga stok ikan di perairan Indonesia ditangkap secara berlebihan. Kita mengambil lebih cepat daripada kemampuan laut untuk memulihkannya.

  • Polusi Plastik: Laut kita semakin sesak oleh sampah. Indonesia adalah salah satu penyumbang sampah plastik ke laut terbesar di dunia, yang tidak hanya merusak pemandangan tetapi juga membunuh biota laut dan masuk ke dalam rantai makanan kita.

  • Habitat Kritis Rusak: Lebih dari sepertiga terumbu karang—rumah bagi ribuan spesies ikan—berada dalam kondisi buruk atau rusak.

Pemerintah bukannya diam. Ada upaya serius memerangi penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) yang merugikan negara triliunan rupiah dan memperluas Kawasan Konservasi Perairan (KKP) hingga puluhan juta hektare. Namun, ironisnya, kita membangun "pagar" konservasi di laut, sementara "sampah" polusi dari darat terus mengalir masuk tanpa hambatan. Ini menunjukkan adanya kebijakan yang berjalan sendiri-sendiri, sebuah silo yang mengancam efektivitas konservasi itu sendiri.

2. Kekayaan Laut: Mengejar Triliunan Rupiah

Inilah pilar yang paling sering menjadi sorotan utama: potensi ekonomi. Sektor-sektor seperti perikanan, budidaya, dan pariwisata bahari adalah tulang punggung yang menyumbang hingga 12% dari PDB nasional dan menyediakan jutaan lapangan kerja. Komoditas ekspor andalan seperti udang, tuna, dan kepiting menjadi sumber devisa yang vital.

Pemerintah juga melirik industri masa depan, seperti:

  • Hilirisasi Rumput Laut: Mengubah rumput laut mentah menjadi produk bernilai tinggi seperti bioplastik dan kosmetik.

  • Bioteknologi Kelautan: Mencari senyawa obat-obatan baru dari organisme laut.

  • Energi Terbarukan Laut: Memanfaatkan angin, ombak, dan pasang surut sebagai sumber energi bersih.

Namun, realisasinya masih jauh dari optimal. Saat ini, kita baru memanfaatkan sekitar sepertiga dari total potensi yang ada. Mengejar pertumbuhan ekonomi sering kali berarti meningkatkan eksploitasi, yang jika tidak dikelola dengan bijak, akan semakin menguras "rekening bank" Kesehatan Laut kita.

3. Keadilan Laut: Untuk Siapa Kemakmuran Ini?

Inilah pilar yang menjadi ujian moral bagi Ekonomi Biru. Di tengah narasi triliunan dolar, ada sebuah paradoks yang menyakitkan: wilayah pesisir justru menjadi kantong-kantong kemiskinan. Sekitar 25% dari dua juta lebih nelayan Indonesia hidup dalam risiko kemiskinan.

Mayoritas dari mereka adalah nelayan skala kecil dengan perahu di bawah 10 Gross Tonnage (GT). Mereka adalah tulang punggung rantai pasok perikanan, namun hidup dalam lingkaran setan kerentanan: akses modal yang sulit, infrastruktur yang minim, harga yang dipermainkan tengkulak, dan biaya operasional yang terus melambung. Pertanyaannya menjadi sangat relevan: jika Ekonomi Biru berhasil, apakah kemakmurannya akan sampai ke gubuk-gubuk mereka di pesisir, atau hanya berhenti di rekening para eksportir besar?

Studi Kasus: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT), Sebuah Dilema Nyata

Untuk melihat bagaimana trilema ini bermain dalam dunia nyata, tidak ada contoh yang lebih baik daripada kebijakan kontroversial Penangkapan Ikan Terukur (PIT).

Secara teori, tujuan PIT terdengar mulia. Kebijakan ini dirancang untuk mendukung pilar Kesehatan Laut dengan sistem kuota untuk mencegah penangkapan berlebih, dan pilar Kekayaan Laut dengan meningkatkan pendapatan negara dan menarik investasi industri.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini menjadi pukulan telak bagi pilar Keadilan Laut.

  • Nelayan Kecil Tersingkir: Sistem zonasi membatasi akses nelayan tradisional ke wilayah tangkap turun-temurun mereka. Sementara itu, sistem kuota lebih menguntungkan pemain industri besar yang punya modal dan teknologi canggih.

  • Kebijakan dari Atas ke Bawah: PIT dirumuskan dengan minim sekali partisipasi dari nelayan kecil yang paling terdampak. Kebutuhan dan realitas mereka diabaikan.

  • Beban Teknologi: Persyaratan seperti e-logbook dan Vessel Monitoring System (VMS) menjadi beban biaya yang mustahil dipenuhi oleh nelayan kecil.

Akibatnya, di beberapa daerah, hingga 80% nelayan kecil dilaporkan mengalami penurunan pendapatan drastis. PIT, dalam bentuknya saat ini, menjadi contoh sempurna bagaimana sebuah kebijakan yang berfokus pada Kekayaan (versi negara/industri) dan Kesehatan (versi teknokratis) secara langsung menghancurkan pilar Keadilan. Ia secara efektif merestrukturisasi hak penangkapan, memindahkannya dari komunitas ke korporasi.

Wasit Global: Peran Ganda Perdagangan Internasional

Kebijakan maritim Indonesia tidak dibuat dalam ruang hampa. Ada kekuatan eksternal yang sangat berpengaruh: perdagangan global. Pasar internasional memainkan peran ganda yang menarik.

Di satu sisi, permintaan global untuk udang dan tuna mendorong Kekayaan Laut. Namun di sisi lain, pasar yang sama, terutama di negara-negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, bertindak sebagai "wasit" yang ketat. Mereka memberlakukan standar yang memaksa Indonesia untuk memperhatikan pilar Kesehatan dan Keadilan.

Dua mekanisme utamanya adalah:

  1. Ekolabel (Tiket Masuk Pasar Premium): Sertifikasi seperti Marine Stewardship Council (MSC) bukan lagi sekadar logo, melainkan syarat untuk masuk ke pasar-pasar bernilai tinggi. Untuk mendapatkan label ini, sebuah perikanan harus membuktikan bahwa stok ikannya sehat, dampak lingkungannya minimal, dan pengelolaannya efektif. Ini adalah tekanan positif bagi pilar Kesehatan. Namun, biaya sertifikasi yang mahal menciptakan "kesenjangan keberlanjutan", di mana hanya pemain besar yang mampu memenuhinya, sementara nelayan kecil tertinggal.

  2. Perjanjian Dagang (Pedang Bermata Dua): Negosiasi seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) menawarkan akses pasar yang lebih luas (Kekayaan). Namun, Uni Eropa menyertakan "syarat dan ketentuan berlaku" yang sangat ketat terkait keberlanjutan, pemberantasan IUU Fishing, hingga hak-hak pekerja. Ini memaksa Indonesia untuk melakukan reformasi internal, sebuah dorongan eksternal yang bisa mempercepat perbaikan tata kelola laut kita.

Mencari Keseimbangan: Jalan Menuju Kemakmuran yang Berkelanjutan

Menavigasi trilema ini bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan berarti mustahil. Indonesia harus beralih dari kebijakan yang terfragmentasi ke pendekatan yang terintegrasi, di mana setiap langkah dipertimbangkan dampaknya terhadap ketiga pilar.

Untuk Pemerintah:

  • Reformasi PIT: Kebijakan ini harus dirancang ulang secara fundamental untuk melibatkan dan melindungi nelayan kecil, bukan menyingkirkan mereka.

  • Konservasi yang Menyejahterakan: Pendapatan dari pariwisata di kawasan konservasi harus dialokasikan kembali untuk mendanai mata pencaharian alternatif bagi masyarakat lokal.

  • Fasilitasi Ekolabel: Pemerintah perlu membantu koperasi nelayan kecil untuk mendapatkan sertifikasi, mengubahnya dari penghalang menjadi peluang.

Untuk Industri dan Investor:

  • Investasi pada Transparansi: Bangun sistem rantai pasok yang bisa dilacak dari kapal hingga ke piring konsumen.

  • Kemitraan yang Adil: Bekerja sama secara langsung dengan komunitas nelayan, memberikan harga yang adil dan dukungan teknis.

  • Fokus pada Nilai Tambah: Berinvestasi dalam pengolahan produk di dalam negeri, menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan keuntungan.

Dua Skenario Masa Depan

Jalan yang dipilih Indonesia hari ini akan menentukan wajah laut kita pada tahun 2045. Ada dua skenario yang mungkin terjadi:

  • Skenario A: Pertumbuhan yang Timpang. PDB dari sektor kelautan meningkat, tetapi konflik sosial di pesisir meruncing, sumber daya laut terus terkuras, dan produk ekspor kita rentan terhadap kritik dari pasar global. Ini adalah kemenangan semu.

  • Skenario B: Kemakmuran yang Terintegrasi. Pemerintah dan industri berhasil menyeimbangkan ketiga pilar. Laut yang sehat menopang ekonomi yang kuat, dan kemakmurannya dirasakan secara adil oleh masyarakat pesisir. Citra produk laut Indonesia di pasar global kuat dan berkelanjutan.

Pilihan ada di tangan kita. Mewujudkan mimpi Ekonomi Biru bukan sekadar tentang mengejar angka triliunan, melainkan tentang membangun masa depan di mana laut, uang, dan keadilan dapat berlayar bersama secara harmonis. Itulah kemenangan sejati yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang.

 
 
 

Comments


bottom of page