Jaringan Tak Kasat Mata: Kisah Tersembunyi di Balik Rantai Pasok Rumput Laut yang Menopang Pesisir Indonesia
- Roni Adi
- Jul 23
- 8 min read

Di sebuah pagi yang cerah di pesisir Sulawesi Selatan, seorang petani bernama Daeng Aris melangkahkan kakinya di perairan dangkal yang menjadi ladang hidupnya. Aroma laut yang khas menyatu dengan bau rumput laut yang baru dipanen, komoditas yang telah menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya selama beberapa generasi. Ribuan kilometer dari sana, di sebuah pabrik modern, rumput laut kering hasil panen Daeng Aris akan diolah menjadi karagenan, bahan pengental serbaguna untuk es krim, kosmetik, hingga obat-obatan yang akan diekspor ke seluruh dunia.
Kisah Daeng Aris adalah cerminan dari peran besar Indonesia dalam panggung global. Sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, negeri ini menyumbang lebih dari 38% total produksi global, sebuah prestasi yang menopang perekonomian nasional dan menghidupi jutaan masyarakat pesisir. Jika kita melihat peta rantai pasoknya, alurnya tampak sederhana dan linear: petani seperti Daeng Aris menjual hasil panennya ke pengepul desa, yang kemudian membawanya ke pengepul besar di kota. Dari sana, rumput laut dikirim ke pabrik pengolahan sebelum akhirnya diekspor. Di atas kertas, ini adalah sebuah mesin ekonomi yang efisien.
Namun, di balik narasi formal yang rapi ini, tersembunyi sebuah dunia yang jauh lebih kompleks, dinamis, dan manusiawi. Sebuah ekosistem sosial yang jarang terlihat oleh para pembuat kebijakan dan analis pasar, namun justru menjadi fondasi yang menopang seluruh struktur ini agar tidak runtuh. Para peneliti dari Institut Teknologi Batam, Universitas Bosowa, Universitas Dharma AUB Surakarta, dan Universitas Widya Gama Malang, yang dipimpin oleh Roni Adi, melakukan sebuah perjalanan untuk menyingkap dunia tersembunyi ini. Mereka mengajukan sebuah pertanyaan mendasar: Siapakah para pemain "tak kasat mata" dalam rantai pasok ini, dan seberapa penting peran mereka dalam menjaga denyut nadi ekonomi masyarakat pesisir?.
Penelitian mereka, yang berjudul "Unveiling Invisible Stakeholders in Seaweed Supply Chains and Their Strategic Influence on Coastal Economic Resilience," membawa kita melampaui diagram alur yang kaku dan masuk ke dalam jaringan hubungan sosial, kepercayaan, dan gotong royong yang menjadi kekuatan sejati masyarakat pesisir.
Peta Resmi yang Tak Lengkap
Selama bertahun-tahun, pendekatan untuk memahami dan mengembangkan komoditas pesisir seperti rumput laut cenderung bersifat teknokratis. Fokus utamanya adalah pada efisiensi logistik, volume produksi, dan margin keuntungan. Studi dan kebijakan publik lebih banyak menyoroti para aktor formal: petani, pengepul besar, eksportir, lembaga keuangan, dan pemerintah daerah. Mereka adalah titik-titik yang terlihat jelas di peta ekonomi. Tujuannya pun mulia, yaitu mengoptimalkan alur distribusi agar keuntungan produsen meningkat dan industri tumbuh.
Namun, pendekatan ini secara tidak sengaja menciptakan sebuah "titik buta". Ia mengabaikan fakta bahwa di lapangan, terutama di pedesaan pesisir, kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari struktur sosialnya. Para peneliti sebelumnya seperti Jentoft & Eide (2021) dan Fabinyi et al. telah mengisyaratkan bahwa ada pemain-pemain informal yang perannya sering terabaikan. Studi lain oleh Amin et al. juga menegaskan bahwa ekonomi kelautan skala kecil di Indonesia sangat bergantung pada hubungan informal yang dilandasi oleh kepercayaan dan modal sosial.
Meskipun demikian, belum ada penelitian yang secara komprehensif dan mendalam mengangkat siapa saja para aktor tak kasat mata ini dan bagaimana dinamika strategis mereka bekerja dalam konteks rantai pasok rumput laut. Ada sebuah celah penelitian yang besar dalam memahami rantai pasok ini, bukan hanya sebagai sistem ekonomi formal, tetapi sebagai sebuah jaringan sosial adaptif yang kompleks. Inilah yang mendorong Roni Adi dan timnya untuk melakukan investigasi mendalam. Mereka tidak hanya ingin menggambar ulang peta, tetapi juga memberikan suara kepada mereka yang selama ini tidak terlihat.
Menyelami Jaringan Tersembunyi: Sebuah Pendekatan Humanis
Untuk mengungkap realitas yang tersembunyi, tim peneliti memilih pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus. Mereka sadar bahwa angka dan statistik saja tidak akan mampu menangkap esensi dari kepercayaan, relasi sosial, dan dinamika ekonomi lokal yang cair. Mereka memilih tiga desa pesisir di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur sebagai lokasi penelitian, area yang dikenal dengan intensitas produksi rumput lautnya yang tinggi serta jaringan sosial lokal yang kuat.
Selama 12 hari di setiap lokasi, para peneliti tidak hanya duduk di kantor desa. Mereka membenamkan diri dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka melakukan observasi partisipatif, ikut serta dalam kegiatan panen, menyaksikan transaksi informal di dermaga, dan mengamati peran gender dalam aktivitas ekonomi rumah tangga. Mereka melakukan wawancara mendalam dengan 24 informan kunci yang dipilih secara cermat. Informan ini bukan hanya petani dan pengepul, tetapi juga tokoh masyarakat, perantara informal, dan aparat desa.
Untuk menemukan para aktor yang "tak kasat mata", mereka menggunakan teknik
snowball sampling, di mana satu informan akan menunjuk ke informan lain yang mereka anggap penting dalam jaringan, seperti mengikuti jejak benang kusut hingga menemukan simpul-simpulnya. Setiap percakapan direkam dan dianalisis secara tematik untuk mengidentifikasi pola-pola makna terkait kepercayaan sosial, mekanisme distribusi informal, peran gender, dan mitigasi risiko ekonomi. Data hubungan antar aktor ini kemudian divisualisasikan menggunakan perangkat lunak Gephi, mengubah narasi kualitatif menjadi peta jaringan sosial yang dapat dianalisis secara visual.
Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menjawab pertanyaan "siapa melakukan apa" sekaligus "mengapa dan bagaimana" peran-peran informal ini terbentuk dan bertahan dalam dinamika ekonomi pesisir.
Tiga Pilar Tak Kasat Mata Penopang Ekonomi Pesisir
Hasil penelitian ini secara gamblang memperlihatkan bahwa di balik layar rantai pasok formal, terdapat tiga kategori aktor informal yang dominan. Mereka adalah pilar-pilar tak kasat mata yang memastikan seluruh sistem tetap berdiri kokoh, terutama saat guncangan datang.
1. Sang Perantara Lokal: Jembatan Kepercayaan di Tingkat Desa
Di setiap desa, selalu ada sosok yang dikenal sebagai "pengepul kecil" atau perantara lokal. Mari kita sebut ia Pak Budi. Pak Budi bukanlah pengepul besar dengan truk dan gudang. Ia adalah tetangga, teman, atau kerabat dari para petani. Perannya adalah menjembatani petani dengan pengepul yang lebih besar. Fungsinya mungkin terdengar sederhana, tetapi dalam praktiknya, ia adalah oli yang membuat mesin ekonomi desa tetap berjalan lancar.
Tidak seperti pengepul besar yang seringkali menuntut transaksi formal dan pembayaran tertunda, Pak Budi beroperasi atas dasar kepercayaan dan hubungan sosial jangka panjang. Ia akan datang langsung ke rumah petani, menimbang hasil panen yang mungkin hanya beberapa karung, dan seringkali membayar tunai di tempat. Jika petani sedang butuh uang untuk biaya sekolah anak atau keperluan mendadak, Pak Budi bisa memberikan pinjaman lunak dengan jaminan hasil panen berikutnya. Fleksibilitas inilah yang tidak dimiliki oleh koperasi resmi atau lembaga formal lainnya.
Temuan penelitian ini sangat mengejutkan: sebanyak 87,5% informan menyatakan bahwa kehadiran perantara lokal seperti Pak Budi jauh lebih membantu kelancaran distribusi dibandingkan koperasi resmi. Mengapa? Karena hubungan mereka tidak didasarkan pada kontrak tertulis yang kaku, melainkan pada modal sosial dan pengalaman bertahun-tahun. Pak Budi adalah penyangga risiko pertama bagi petani. Ia memastikan hasil panen petani terserap pasar, sekecil apa pun jumlahnya.
2. Kekuatan Ekonomi Rumah Tangga: Peran Sentral Para Perempuan
Ketika rumput laut selesai dipanen, pekerjaan belum usai. Rumput laut basah harus segera dikeringkan dan dibersihkan dari kotoran sebelum bisa dijual. Di sinilah pilar kedua muncul: para aktor ekonomi rumah tangga, yang mayoritas adalah perempuan. Istri, ibu, dan anak perempuan para petani mengambil alih tugas vital ini. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di bawah terik matahari, membolak-balik rumput laut di atas terpal atau para-para hingga mencapai kekeringan yang ideal. Mereka juga yang memilah dan mengemasnya ke dalam karung.
Pekerjaan ini seringkali dianggap sebagai perpanjangan dari tugas domestik dan tidak dihitung sebagai "pekerjaan" dalam statistik ekonomi formal. Namun, penelitian ini membuktikan bahwa peran mereka sangat strategis. Kualitas pengeringan menentukan harga jual rumput laut. Tanpa kerja keras para perempuan ini, nilai ekonomi hasil panen bisa anjlok drastis. Mereka adalah manajer kualitas pertama dalam rantai pasok. Modal utama mereka adalah tenaga kerja keluarga, dan interaksi mereka bersifat ekonomi domestik yang menopang ketahanan pangan dan pendapatan harian keluarga.
3. Jaring Pengaman Sosial: Kekuatan Gotong Royong Komunitas
Pilar ketiga adalah yang paling abstrak namun mungkin yang paling kuat: jaringan sosial komunitas. Ini adalah manifestasi dari semangat gotong royong yang mendarah daging. Jaringan ini tidak memiliki struktur formal, tetapi akan aktif secara spontan ketika komunitas menghadapi gangguan eksternal.
Penelitian ini mencatat beberapa contoh adaptasi kolektif yang luar biasa. Misalnya, ketika hujan ekstrem turun selama musim pengeringan, rumput laut yang dijemur di luar terancam membusuk. Secara spontan, warga akan saling membantu memindahkan dan melanjutkan proses pengeringan di teras-teras atau bahkan di dalam rumah mereka yang terbatas, demi menyelamatkan kualitas hasil panen.
Contoh lain yang lebih dramatis adalah ketika terjadi keterlambatan armada kapal dari eksportir karena cuaca buruk atau masalah logistik. Dalam situasi normal, ini adalah bencana. Hasil panen yang sudah siap kirim bisa tertahan berhari-hari, membusuk, dan menyebabkan kerugian total. Di sinilah jaring pengaman sosial beraksi. Melalui musyawarah informal atau bahkan menggunakan dana talangan dari kas arisan, komunitas akan secara kolektif menyewa truk atau perahu darurat untuk mengangkut hasil panen ke pelabuhan utama. Mereka menolak untuk pasrah pada keadaan.
Strategi adaptif ini menunjukkan bahwa jaringan informal bukan sekadar pelengkap, melainkan tulang punggung utama dari resiliensi lokal. Mereka adalah infrastruktur sosial yang sangat fungsional dan relevan, terutama di wilayah pesisir yang seringkali menghadapi keterbatasan akses terhadap institusi dan infrastruktur formal.
Pelajaran dari Jaringan Tak Kasat Mata: Ekonomi yang Tertanam dalam Masyarakat
Temuan-temuan ini secara kuat menegaskan kembali konsep "embeddedness" atau keterlekatan yang dipopulerkan oleh sosiolog Mark Granovetter (1985). Teorinya menyatakan bahwa tindakan ekonomi tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan selalu tertanam dalam struktur hubungan sosial yang konkret. Rantai pasok rumput laut di pesisir Indonesia adalah contoh sempurna dari teori ini.
Interaksi antara para aktor informal tidak semata-mata bersifat transaksional. Hubungan mereka dilekatkan pada nilai-nilai sosial seperti solidaritas, saling percaya, dan gotong royong. Sistem informal yang fleksibel dan berbasis kepercayaan ini memungkinkan arus informasi dan barang tetap berjalan lancar, bahkan ketika sistem formal sedang macet atau tidak berfungsi optimal. Ini adalah sebuah kontras yang tajam dengan pendekatan pasar modern yang cenderung mengabaikan ikatan sosial demi efisiensi teknis.
Di sinilah letak ironi dari banyak kebijakan pembangunan pesisir. Dengan fokus yang terlalu besar pada modernisasi dan integrasi pasar, kebijakan tersebut seringkali tanpa sadar mengabaikan, atau bahkan merusak, kontribusi sistem informal ini. Upaya untuk "memotong" peran perantara lokal dengan dalih efisiensi, misalnya, berisiko menghilangkan penyangga risiko sosial dan sumber modal mikro yang paling mudah diakses oleh petani. Memaksakan sistem koperasi yang birokratis tanpa memahami dinamika kepercayaan lokal bisa jadi justru meminggirkan para petani yang lebih nyaman bertransaksi dengan orang yang mereka kenal dan percayai selama bertahun-tahun.
Menuju Peta Baru: Merangkul yang Tak Kasat Mata
Penelitian ini bukan sekadar sebuah kritik, tetapi juga sebuah seruan untuk merumuskan kembali pendekatan pembangunan pesisir. Jika kita ingin membangun ketahanan ekonomi yang sejati di komunitas pesisir, kita tidak bisa lagi menggunakan peta yang lama dan tidak lengkap. Kita harus mulai mengakui dan memberdayakan para aktor informal sebagai bagian integral dari sistem ekonomi lokal.
Apa artinya ini dalam praktik?
Kebijakan yang Inklusif: Para pembuat kebijakan perlu secara aktif melibatkan perantara lokal, perwakilan perempuan pengolah, dan tokoh komunitas dalam setiap proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Suara mereka harus didengar karena mereka adalah ahli di lapangan.
Intervensi Berbasis Konteks Sosial: Program intervensi harus dirancang untuk memperkuat, bukan menggantikan, jaringan sosial yang ada. Misalnya, alih-alih membangun koperasi baru dari nol, mungkin lebih efektif untuk memberikan dukungan peningkatan kapasitas kepada kelompok arisan atau jaringan perantara lokal yang sudah ada dan terpercaya.
Menghargai Modal Sosial: Pemerintah dan lembaga pembangunan perlu memahami bahwa modal sosial—kepercayaan, norma, dan jaringan—adalah aset ekonomi yang sama berharganya dengan modal finansial atau infrastruktur fisik.
Pendekatan yang inklusif, partisipatif, dan menghormati dinamika sosial lokal pada akhirnya akan jauh lebih efektif dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan ekologi di masa depan.
Tentu saja, penelitian ini memiliki keterbatasannya. Cakupan spasialnya yang terbatas pada tiga desa berarti hasilnya belum tentu bisa digeneralisasi ke seluruh Indonesia. Selain itu, dinamika musiman dan perubahan harga global belum sepenuhnya tertangkap dalam periode observasi yang singkat. Oleh karena itu, para peneliti merekomendasikan studi lanjutan yang mengintegrasikan metode Analisis Jaringan Sosial (SNA) kuantitatif untuk memetakan kekuatan dan posisi setiap aktor secara lebih presisi.
Namun, sebagai langkah awal, penelitian ini telah berhasil menyingkap sebuah kebenaran fundamental: di balik setiap karung rumput laut yang kita ekspor, ada sebuah jaringan manusia yang kompleks dan tak kasat mata. Mereka adalah pahlawan tanpa nama yang menjaga roda ekonomi tetap berputar, menopang kehidupan, dan membangun ketahanan dari fondasi paling dasar: kepercayaan dan kebersamaan. Mengabaikan mereka bukan hanya sebuah kelalaian, tetapi sebuah risiko yang dapat melemahkan fondasi ekonomi pesisir kita sendiri.



Comments