top of page
Search

Komunitas Betawi Mendukung Gerakan #PulihkanJakarta

Selepas diskusi publik #PulihkanJakarta untuk menyelamatkan yang tersisa di Laskaru, Jagakarsa
Selepas diskusi publik #PulihkanJakarta untuk menyelamatkan yang tersisa di Laskaru, Jagakarsa

Pindahnya Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan sebenarnya menjadi semacam titik balik penting dalam perjalanan pembangunan Indonesia. Meski di satu sisi pemindahan ibu kota ini akan membuka peluang untuk pemerataan dan desentralisasi, namun di sisi lain Jakarta akan menghadapi tantangan besar—terutama soal keberlanjutan sebagai kota megapolitan yang sudah lama dibebani krisis lingkungan dan ketimpangan sosial.

Dalam proses membenahi Jakarta ini, peran budaya dan komunitas Betawi tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena sebagai penduduk asli Jakarta, budaya Betawi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari identitas kota Jakarta yang pada 2027 nanti akan memasuki usia 500 tahun.

Menurut Van der Hoop (1941) dan Hasan Djafar (2018) pemukiman awal di Jakarta dan sekitarnya bahkan sudah ada sejak masa prasejarah (Masa Bercocoktanam) yaitu sekitar 5.000 tahun yang lalu, di mana pada awalnya manusia prasejarah di Jakarta dan sekitarnya hidup menetap di tepian sungai dan danau serta di tepian pantai sekitar muara sungai. Peninggalan-peninggalan arkeologi berupa gerabah dan alat-alat bantu seperti beliung persegi pada umumnya banyak ditemukan secara kebetulan oleh penduduk ketika mereka sedang mengerjakan tanah, di samping ada pula yang ditemukan melalui penelitian, baik melalui survei atau eskavasi yang dilakukan oleh para peneliti dari berbagai instansi terkait (Soedjono dalam Hasan Djafar, 2010). Sebagian dari temuan-temuan tersebut kini tersimpan di Museum Nasional dan Museum Sejarah Jakarta.

Jadi budaya Betawi yang terbentuk dari hasil akulturasi, asimilasi, difusi dan penetrasi dengan berbagai kebudayaan di nusantara dan manca negara, bukan baru muncul sejak J.P. Coen mendirikan kota Batavia pada Mei 1619 setelah merebut Jayakarta dari Kesultanan Banten. Sejatinya kebudayaan Betawi telah dimulai dalam rentang waktu lama, mulai dari masa prasejarah hingga masa kontemporer (Sulistyo, 2020). Perjalanan panjang kebudayaan Betawi sebagai penduduk asli Jakarta tersebut mencerminkan keberagaman sejarah, tradisi, dan mewarisi pula nilai-nilai kearifan lokal berupa semangat gotong royong dan cara hidup yang selaras dengan alam – di mana hal tersebut sejalan dengan semangat ekonomi hijau, biru, sirkular, bahkan digital.

Berbagai praktik tradisional dalam arsitektur, pertanian, kuliner, hingga sistem sosial pada masyarakat Betawi telah menunjukkan potensi besar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Kearifan lokal etnik Betawi menjadi wujud kecerdasan masyarakat Betawi sebagai akumulasi dari pengalaman hidup yang dialaminya dan menjadi ciri identitas etnik Betawi sekaligus pembeda dengan etnik lainnya.  Nilai-nilai kearifan lokal ini mencakup cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.  Nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi diajarkan, dipraktikkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun-temurun melalui media pendidikan informal dalam keluarga dan lingkungan masyarakat Betawi oleh orang yang “dituakan” maupun orang ‘alim.  

Menurut Suswandari (2017), nilai-nilai kearifan lokal etnik Betawi yang membentuk pola perilaku manusia Betawi mencakup tiga hal yaitu : hubungan manusia dengan Tuhan; hubungan manusia dengan alam; dan hubungan antara sesama manusia lainnya.

Dalam hubungannya dengan Tuhan, ajaran agama Islam memegang peranan penting yang menjadi landasan moral dan sosial. Berbagai aktivitas seperti pengajian, tradisi ziarah, dan perayaan hari-hari besar Islam bukan hanya menjadi bentuk ibadah, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan nilai spiritual masyarakat Betawi. Tradisi-tradisi seperti Babaritan di Kampung Kranggan, Nyadran di Muara Angke, hingga upacara adat daur ulang siklus kehidupan orang Betawi —mulai dari lahiran, khitanan, pernikahan dan kematian— menunjukkan bagaimana nilai agama Islam dan budaya berjalan seiring sebagai fondasi kehidupan orang Betawi.

Hubungan erat antara manusia dan alam juga tercermin dalam berbagai praktik pertanian dan konservasi tradisional yang dijalankan masyarakat Betawi di masa lalu. Upacara-upacara bertani seperti “nyawah”, “nandur”, “rujakan” dan “selamatan padi” mengilustrasikan kearifan dalam mengelola alam berdasarkan siklus musim dan rasa syukur atas hasil bumi. Selain itu, hewan-hewan seperti buaya, burung, hingga kucing dihormati dan diperlakukan secara bijak karena dianggap memiliki makna simbolik dan spiritual. Bentuk penghormatan ini menunjukkan adanya kesadaran ekologis yang tinggi, di mana menjaga keseimbangan dengan alam bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari tradisi budaya.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat Betawi dikenal bersifat terbuka, ramah, dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Sikap gotong royong tercermin dalam berbagai kegiatan kolektif seperti nyambat, membuat dodol, membantu tetangga bertani, hingga membantu tuan rumah yang merayakan upacara pernikahan (ngedelengin, ngelamar, bawa tande putus, akad nikah, malem). Karakter khas orang Betawi juga terlihat dari sifat mereka yang egaliter, humoris, serta memiliki jiwa seni yang tinggi. Kejujuran, toleransi, dan solidaritas sosial menjadi prinsip hidup yang membuat komunitas ini mampu bertahan dalam keberagaman etnis Jakarta. Nilai-nilai ini tidak hanya relevan dalam konteks budaya, tetapi juga sangat potensial untuk mendukung pembangunan berkelanjutan melalui pendekatan ekonomi hijau, biru, sirkular, dan digital yang berakar pada kearifan lokal.

Namun seiring berjalannya waktu, arus modernisasi dan perubahan lingkungan telah membawa tantangan bagi keberlanjutan budaya Betawi. Perkembangan pesat urbanisasi, degradasi lingkungan, dan perubahan pola ekonomi telah menggeser peran budaya Betawi dalam kehidupan masyarakat Jakarta dan sekitarnya. Salah satu tantangan terbesar adalah kondisi 13 sungai yang melewati Jakarta, yang dahulu menjadi pusat aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Betawi, kini mengalami kerusakan ekosistem akibat pencemaran, alih fungsi lahan, dan semakin berkurangnya kesadaran masyarakat terhadap nilai ekologis Sungai (Aminullah & Sari, 2024). Tentunya hal ini akan berkontribusi terhadap meningkatnya risiko bencana seperti banjir yang semakin sering terjadi akhir-akhir ini.

Di tengah tantangan tersebut, beberapa komunitas pelestari lingkungan seperti Padepokan Ciliwung Condet di Condet, Laskaru di Jagakarsa, dan KTLH Sangga Buana di Lebak Bulus berupaya menghidupkan kembali modal kultural sebagai strategi dalam pengelolaan lingkungan dan ketahanan bencana.  

Padepokan Ciliwung Condet, Laskaru, dan KTLH Sangga Buana serta komunitas lain yang tidak disebutkan dalam tulisan ini —telah berjuang menghidupkan kembali modal kultural sebagai bagian dari strategi pengelolaan lingkungan dan penguatan ketahanan terhadap bencana. Ketiganya memanfaatkan pendekatan berbasis budaya dalam menjaga sungai, merestorasi ekosistem, hingga memberikan edukasi lingkungan kepada masyarakat sekitar. Lewat langkah-langkah tersebut, mereka tak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga mendorong pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.

Mari bergabung dengan langkah-langkah luar biasa dari Padepokan Ciliwung Condet, Laskaru, KTLH Sangga Buana, bersama Walhi Jakarta dan komunitas-komunitas inspiratif lainnya yang telah berjuang menghidupkan kembali modal kultural sebagai strategi pengelolaan lingkungan dan memperkuat ketahanan terhadap bencana. Dengan pendekatan berbasis budaya, mereka menjaga sungai, merestorasi ekosistem, dan memberikan edukasi lingkungan kepada masyarakat sekitar. Mereka tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga mendorong pembangunan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan. Ayo, bersama-sama kita ikut serta dalam menjaga bumi dan mewujudkan masa depan yang lebih baik! #PelestarianLingkungan #KetahananBencana #PembangunanBerkeadilan #BudayaUntukLingkungan


 
 
 

1 Comment


ah ahy
ah ahy
6 days ago

Kabar4d penyedia game slot terlengkap dan terpopuler!

Like
bottom of page