Menavigasi Arus Kembar: Kebijakan Fiskal dan Kepatuhan Pajak Indonesia di Persimpangan Digitalisasi Domestik dan Reformasi Global
- Roni Adi
- Jul 11
- 7 min read
Pendahuluan

Konteks kebijakan fiskal dan administrasi perpajakan Indonesia saat ini dibentuk oleh dua kekuatan transformatif yang fundamental. Di tingkat domestik, dorongan modernisasi dimanifestasikan melalui implementasi Core Tax Administration System (Coretax), sebuah perombakan teknologi dan proses bisnis paling ambisius dalam sejarah reformasi perpajakan nasional. Secara eksternal, tekanan untuk beradaptasi datang dari perombakan aturan pajak internasional yang dipimpin oleh OECD/G20, khususnya melalui kerangka kerja Dua Pilar yang bertujuan mengatasi tantangan perpajakan di era ekonomi digital.
Kedua kekuatan ini, meskipun berasal dari sumber yang berbeda, saling terkait secara inheren dan secara kolektif mendefinisikan ulang cara pemerintah mengelola pendapatan dan cara wajib pajak memenuhi kewajibannya. Implementasi Coretax dan adopsi Pilar Dua bukanlah dua agenda yang berjalan paralel secara kebetulan; keduanya saling bergantung secara fundamental. Artikel ini akan mengurai kompleksitas hubungan tersebut, menganalisis bagaimana reformasi global membentuk ulang efektivitas kebijakan fiskal domestik, dan bagaimana keberhasilan digitalisasi domestik menjadi prasyarat untuk menavigasi tatanan pajak internasional yang baru. Dengan demikian, kemampuan Indonesia untuk menyelaraskan kedua agenda reformasi ini akan menjadi faktor penentu dalam membangun sistem fiskal yang lebih resilien, adil, dan efisien.
Lanskap Fiskal-Digital Baru: Dua Kekuatan Perubahan
Revolusi Digital Domestik: Core Tax Administration System (Coretax)
Sebagai inti dari proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang diamanatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018, Coretax dirancang untuk menggantikan sistem lama yang usang dan terfragmentasi. Tujuannya multifaset: mengintegrasikan 21 proses bisnis inti dalam satu platform, meningkatkan efisiensi operasional DJP, menyederhanakan administrasi bagi wajib pajak, dan pada akhirnya, mendorong kepatuhan sukarela untuk meningkatkan rasio pajak nasional.
Peluncuran Coretax pada 1 Januari 2025 dengan pendekatan big bang—di mana seluruh proses bisnis diaktifkan serentak—menunjukkan volume transaksi yang masif sejak awal. Namun, peluncuran ini diwarnai oleh tantangan stabilitas yang signifikan. Pengguna secara luas melaporkan kelambatan sistem, kesulitan login, dan antarmuka yang membingungkan, terutama saat mendekati tenggat waktu pelaporan. DJP sendiri mengakui adanya fluktuasi kinerja saat volume transaksi melonjak dan secara aktif melakukan perbaikan dengan target penyelesaian signifikan pada Juli 2025. Isu keamanan data juga menjadi sorotan, diperparah oleh munculnya modus penipuan yang mengeksploitasi kebingungan publik.
Reset Pajak Global: Kerangka Kerja Dua Pilar OECD/G20
Secara paralel, Indonesia wajib mengadopsi kerangka kerja pajak internasional baru dari OECD/G20. Pilar Satu bertujuan merealokasikan hak pemajakan atas laba MNC terbesar ke negara pasar, namun negosiasinya masih menghadapi kebuntuan, menjadikan kebijakan PPN PMSE yang sudah berjalan di Indonesia sebagai instrumen vital sementara.
Dampak yang lebih mendesak datang dari Pilar Dua, yang menetapkan pajak minimum global efektif sebesar 15% untuk MNC dengan pendapatan di atas €750 juta. Mekanisme ini ditegakkan melalui aturan yang saling mengunci, termasuk Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Payments Rule (UTPR). Bagi Indonesia, mekanisme pertahanan yang paling krusial adalah Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), yang memungkinkan negara untuk memungut sendiri pajak tambahan atas laba rendah pajak dari MNE yang beroperasi di wilayahnya, memastikan pendapatan tersebut masuk ke kas negara.
Sinkronisasi yang Dipaksakan
Implementasi Pilar Dua menuntut ketersediaan data keuangan yang sangat detail dan dapat diaudit untuk menghitung Tarif Pajak Efektif (ETR) secara akurat per yurisdiksi. Coretax, dengan kemampuannya mengintegrasikan data dari berbagai sumber, dirancang untuk menjadi sistem saraf pusat yang menyediakan data tersebut. Namun, kondisi Coretax yang masih dalam tahap stabilisasi menciptakan sebuah risiko strategis: Indonesia dipaksa membangun arsitektur kepatuhan pajak global yang kompleks di atas fondasi sistem teknologi domestik yang masih dalam proses pembangunan. Kegagalan memastikan integritas data di Coretax tidak hanya akan menghambat administrasi domestik, tetapi juga dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam perhitungan ETR, berpotensi memicu sengketa internasional dan merusak kredibilitas Indonesia dalam menerapkan aturan QDMTT-nya.
Analisis Dampak terhadap Kebijakan Fiskal Nasional
Gelombang kembar reformasi ini secara fundamental membentuk ulang perangkat dan strategi kebijakan fiskal nasional, melampaui sekadar administrasi perpajakan.
Coretax dan Fajar Tata Kelola Fiskal Berbasis Bukti
Coretax merupakan fondasi bagi sebuah revolusi data dalam pemerintahan. Dengan mengintegrasikan data wajib pajak dengan data pihak ketiga (lembaga keuangan, bea cukai, e-commerce), DJP kini memiliki akses ke gudang data ekonomi yang komprehensif dan mendekati real-time. Hal ini memungkinkan pergeseran paradigma dalam perumusan kebijakan fiskal:
Peramalan Penerimaan yang Lebih Akurat: Pemanfaatan analitik prediktif dan machine learning pada data transaksi yang granular dapat menghasilkan proyeksi penerimaan negara yang lebih akurat, krusial untuk perencanaan APBN yang berkualitas.
Simulasi dan Analisis Dampak Kebijakan: Ketersediaan data yang kaya memungkinkan pemerintah melakukan simulasi dampak dari berbagai skenario kebijakan fiskal—seperti perubahan tarif PPN—dengan presisi yang lebih tinggi.
Respons Fiskal yang Gesit: Data yang mendekati real-time berfungsi sebagai sistem peringatan dini, memungkinkan pemerintah merancang dan menyalurkan instrumen fiskal secara lebih cepat dan tepat sasaran, seperti pada kebijakan insentif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) selama pandemi.
Pilar Dua dan Kalibrasi Ulang Insentif Investasi
Penerapan pajak minimum global 15% oleh Pilar Dua secara langsung menetralkan efektivitas salah satu alat kebijakan andalan Indonesia: tax holiday. Fasilitas ini, yang sering memberikan tarif pajak efektif jauh di bawah 15%, kini kehilangan daya tariknya karena jika Indonesia memberikan pembebasan pajak, negara asal MNE tersebut berhak memungut selisihnya sebagai top-up tax. Akibatnya, insentif yang diberikan Indonesia hanya berpindah menjadi penerimaan bagi negara lain, sebuah biaya tanpa manfaat.
Fenomena ini memaksa Indonesia untuk mengkalibrasi ulang proposisi nilainya kepada investor, menggeser fokus dari persaingan tarif pajak ke penguatan iklim investasi fundamental. Faktor-faktor seperti kepastian regulasi, penyederhanaan birokrasi, kualitas infrastruktur, dan stabilitas politik menjadi daya saing utama. Tantangannya adalah merancang insentif fiskal generasi baru yang "tahan Pilar Dua", seperti kredit pajak yang dapat dikembalikan (Qualified Refundable Tax Credits atau QRTCs) atau hibah langsung, yang perlakuan akuntansinya lebih menguntungkan dalam aturan GloBE.
Pada titik ini, stabilitas dan efisiensi Coretax itu sendiri menjadi sebuah insentif non-fiskal yang sangat kuat. Investor global secara konsisten menyoroti ketidakpastian regulasi dan kerumitan birokrasi sebagai penghalang utama. Sistem administrasi pajak yang berfungsi baik, yang menjanjikan penyederhanaan dan kepastian, secara langsung menjawab kekhawatiran tersebut. Sebaliknya, kondisi Coretax saat ini yang masih belum stabil justru menciptakan ketidakpastian baru dan berfungsi sebagai disinsentif bagi investor. Dengan demikian, keberhasilan stabilisasi Coretax bukan lagi sekadar tujuan administrasi, melainkan sebuah imperatif kebijakan investasi nasional.
Mendefinisikan Ulang Kepatuhan Pajak di Era Digital
Dampak dari kedua reformasi ini sangat berbeda antara segmen korporasi besar dan sektor UMKM, menciptakan polarisasi dalam lanskap kepatuhan.
Wajib Pajak Korporat: Transparansi Radikal dan Mandat untuk Beradaptasi
Bagi MNC, era Coretax menandai berakhirnya asimetri informasi. Dengan pandangan 360 derajat atas aktivitas ekonomi wajib pajak dari berbagai sumber data, DJP tidak lagi hanya bergantung pada apa yang dilaporkan; sebaliknya, wajib pajak kini harus mampu merekonsiliasi laporannya dengan data yang sudah dimiliki DJP. Visibilitas ini membuat praktik perencanaan pajak agresif menjadi jauh lebih sulit disembunyikan. Akibatnya, fokus strategi perpajakan korporat harus bergeser dari minimalisasi pajak ke tata kelola pajak (tax governance) dan manajemen risiko yang kuat. Integrasi sistem Enterprise Resource Planning (ERP) dengan Coretax melalui API menjadi sebuah keharusan, bukan pilihan.
Sektor UMKM: Kesenjangan Digital dan Kepatuhan yang Melebar
Berbeda dengan korporasi, UMKM menghadapi tekanan ganda: didorong untuk mengadopsi sistem Coretax yang kompleks sambil menjadi target mekanisme pemungutan baru, seperti rencana penunjukan e-commerce sebagai pemungut PPh Final. Transisi ini diperparah oleh tantangan fundamental seperti kesenjangan literasi digital, hambatan biaya dan infrastruktur, serta adanya resistensi dan ketidakpercayaan. Asosiasi seperti AKUMANDIRI menyuarakan kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mendorong penjual kecil kembali ke ranah informal, yang kontraproduktif dengan tujuan pemerintah. Kapasitas yang sangat berbeda ini menunjukkan bahwa strategi kepatuhan one-size-fits-all tidak akan efektif dan berisiko memperlebar kesenjangan serta meningkatkan sektor informal jika tidak didukung kebijakan yang terdiferensiasi.
Menuju Kontrak Sosial Baru
Kapabilitas pengawasan Coretax yang masif, meskipun diposisikan sebagai alat untuk keadilan, dapat dipersepsikan sebagai tindakan intrusif di negara dengan
tax morale yang secara historis rendah. Oleh karena itu, beberapa elemen penyeimbang menjadi krusial. Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi payung hukum utama, namun penerapannya di sektor pajak masih memiliki celah karena belum adanya peraturan pelaksana yang spesifik. Penggunaan AI dalam manajemen risiko juga memunculkan bahaya bias algoritma, yang menuntut adanya kerangka tata kelola yang menjamin transparansi, keadilan, dan akuntabilitas. Sebagai penyeimbang, modernisasi peradilan pajak melaluie-Tax Court menjadi perkembangan positif yang menjanjikan penyelesaian sengketa yang lebih efisien.
Rekomendasi Strategis untuk Sistem Pajak yang Adaptif dan Resilien
Untuk menavigasi kompleksitas ini, diperlukan serangkaian strategi yang terkoordinasi dan dapat ditindaklanjuti.
Untuk Pembuat Kebijakan Fiskal: Pemerintah harus melakukan tinjauan komprehensif terhadap seluruh insentif fiskal yang ada untuk mengidentifikasi mana yang kini tidak lagi efektif akibat Pilar Dua, seperti tax holiday, dan menghapusnya secara bertahap. Fokus harus dialihkan pada penguatan fundamental iklim investasi (insentif non-fiskal) dan merancang insentif fiskal generasi baru yang "tahan Pilar Dua", seperti Qualified Refundable Tax Credits (QRTCs). Setelah stabil, Coretax harus dipromosikan secara eksplisit sebagai keunggulan kompetitif dan insentif non-fiskal yang berharga bagi investor.
Untuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP): DJP perlu mengadopsi peta jalan evolusi Coretax yang bertahap. Fase pertama harus fokus pada stabilisasi sistem, dengan mengalokasikan semua sumber daya untuk memperbaiki fungsionalitas inti dan mengatasi bug kritis. Fase kedua adalah optimalisasi, dengan fokus pada perbaikan pengalaman pengguna dan penawaran layanan yang dipersonalisasi seperti SPT pra-isi. Fase ketiga adalah inovasi, dengan memanfaatkan AI untuk analitik prediktif dan layanan proaktif. Selain itu, DJP harus meluncurkan program pendampingan digital yang terarah bagi UMKM, bekerja sama dengan Kementerian UMKM dan e-commerce, yang mencakup subsidi perangkat lunak dan pelatihan literasi digital. Terakhir, DJP harus membangun kerangka tata kelola algoritma yang kokoh untuk memastikan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas dalam penggunaan AI.
Untuk Dunia Usaha (MNC dan UMKM): Wajib pajak tidak bisa bersikap pasif. MNC harus berinvestasi pada integrasi sistem ERP dengan Coretax, membangun tata kelola data pajak yang kuat, dan mentransformasi fungsi pajaknya dari kepatuhan administratif menjadi manajemen risiko strategis. UMKM perlu mengadopsi perangkat lunak akuntansi berbasis cloud yang terjangkau, memanfaatkan program pelatihan digital yang tersedia, dan berkolaborasi melalui asosiasi untuk menyuarakan kebutuhan mereka secara kolektif.
Kesimpulan
Indonesia sedang menjalani sebuah transformasi fiskal yang kompleks di mana keberhasilan digitalisasi domestik melalui Coretax menjadi prasyarat bagi kemampuan negara untuk mengelola kewajiban dan memanfaatkan peluang dari reformasi pajak global. Kegagalan menstabilkan Coretax akan merusak kredibilitas Indonesia dan melemahkan daya saingnya, sementara Coretax yang stabil dapat menjadi insentif non-fiskal yang kuat. Lanskap kepatuhan yang terpolarisasi antara MNC dan UMKM menuntut kebijakan yang terdiferensiasi dan inklusif. Keseimbangan antara pengawasan digital yang ketat dan perlindungan hak-hak wajib pajak akan menjadi penentu legitimasi sistem baru ini. Langkah ke depan menuntut pendekatan yang strategis dan kolaboratif dari semua pemangku kepentingan untuk membangun sistem fiskal yang resilien, adil, dan efisien—sebuah tulang punggung yang esensial untuk menopang ambisi Indonesia Emas 2045.


Comments