Koperasi Merah Putih: Membangun Ekonomi Dari, Oleh, dan Untuk Kita
- Roni Adi
- Sep 21
- 7 min read

Di tengah hiruk pikuk kota industri seperti Batam, di mana roda ekonomi global berputar kencang, sering kali kita merasa hanya menjadi sekrup kecil dalam sebuah mesin raksasa. Sistem ekonomi yang kita kenal—kapitalisme—telah terbukti mampu menciptakan kekayaan dalam skala masif. Gedung-gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan yang megah, dan denyut industri yang tak pernah tidur adalah saksi bisu kehebatannya. Namun, di balik fasad kemajuan itu, ada sebuah pertanyaan yang semakin sering menggema di benak banyak orang: Apakah sistem ini benar-benar bekerja untuk kita semua?
Kita hidup dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, kemakmuran terpampang nyata. Di sisi lain, ketidakpastian kerja, kesenjangan ekonomi yang melebar, dan perasaan terasing dari pekerjaan yang kita lakukan menjadi realitas sehari-hari bagi banyak warga. Keputusan-keputusan besar yang memengaruhi hajat hidup kita sering kali dibuat di ruang rapat yang jauh, oleh para pemegang saham yang tujuannya hanya satu: memaksimalkan keuntungan. Dalam skema ini, manusia—pekerja, konsumen, dan komunitas lokal—terkadang hanya dianggap sebagai sumber daya atau target pasar.
Namun, bagaimana jika ada cara lain? Bagaimana jika kita bisa membangun sebuah sistem ekonomi yang menempatkan manusia, bukan modal, sebagai pusatnya? Sebuah sistem di mana suara setiap orang didengar, di mana keuntungan tidak hanya mengalir ke atas, tetapi didistribusikan secara adil kepada mereka yang berkontribusi, dan di mana tujuan utamanya adalah kesejahteraan bersama.
Gagasan ini bukanlah mimpi utopis. Ia memiliki nama dan telah dipraktikkan di seluruh dunia selama ratusan tahun. Namanya adalah koperasi. Dan inilah visi yang ingin diwujudkan oleh pemerintahan di bawah Presiden Prabowo melalui Inpres No. 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih : sebuah antitesis dari kapitalisme yang eksploitatif, dan sebuah jalan menuju demokrasi ekonomi yang nyata di tingkat akar rumput.
Kapitalisme di Bawah Mikroskop: Apa yang Sebenarnya Kita Lawan?
Sebelum kita melangkah lebih jauh, penting untuk memahami "lawan" yang dihadapi oleh model koperasi. Kapitalisme, dalam bentuknya yang paling murni, beroperasi berdasarkan beberapa prinsip fundamental. Pertama, kepemilikan alat produksi (pabrik, mesin, tanah) terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau entitas (kapitalis). Kedua, mayoritas orang bekerja untuk mendapatkan upah, menjual tenaga dan waktu mereka kepada para pemilik modal. Ketiga, tujuan utama dari setiap kegiatan ekonomi adalah akumulasi laba.
Sistem ini, seperti yang diungkapkan oleh para peneliti seperti Theodorus Rakopoulos dan Rupert Stasch (2020), secara inheren menciptakan masalah. Ketergantungan pada upah membuat posisi pekerja menjadi rentan. Hirarki yang kaku di tempat kerja menekan kreativitas dan otonomi. Dan yang terpenting, fokus tanpa henti pada profit sering kali mengorbankan nilai-nilai lain: kelestarian lingkungan, kesejahteraan pekerja, dan kesehatan komunitas.
Di Batam, kita bisa melihat manifestasi ini dengan jelas. Pekerja kontrak yang hidup dalam ketidakpastian, UMKM yang berjuang untuk bersaing dengan ritel raksasa, dan komunitas yang merasakan dampak pembangunan tanpa pernah benar-benar ikut menikmati hasilnya. Sistem ini efisien dalam menghasilkan uang, tetapi sering kali gagal dalam mendistribusikannya secara adil dan menciptakan kesejahteraan yang merata.
Koperasi: Sebuah Cetak Biru untuk Demokrasi Ekonomi
Di sinilah koperasi hadir sebagai sebuah alternatif yang radikal namun praktis. Koperasi, pada intinya, adalah "sarana utama organisasi untuk kegiatan ekonomi, yang umumnya beroperasi berdasarkan prinsip keanggotaan yang setara dan kendali demokratis anggota atas sumber penghidupan mereka" (Rakopoulos & Stasch, 2020). Mari kita bedah apa artinya ini dalam praktik.
Bayangkan sebuah perusahaan. Sekarang, buang struktur bos-karyawan yang kaku. Gantikan dengan sebuah sistem di mana setiap pekerja adalah pemilik. Inilah esensi dari koperasi pekerja. Di sini, tidak ada dewan direksi yang terpisah dari pekerjanya. Keputusan strategis—mulai dari pembagian keuntungan, jam kerja, hingga arah pengembangan usaha—dibuat secara bersama-sama. Setiap anggota memiliki satu suara, terlepas dari berapa banyak modal yang mereka tanamkan.
Studi oleh George Kokkinidis (2015) terhadap kolektif pekerja di Yunani memberikan gambaran yang hidup tentang bagaimana model ini bekerja. Ia menemukan bahwa koperasi-koperasi ini berhasil menciptakan ruang di mana "berbagai pendapat berkembang pesat alih-alih ditekan." Mereka membangun model partisipasi yang inklusif, yang pada akhirnya melahirkan "individu yang menciptakan aturan alih-alih mengikuti aturan." Ini adalah pergeseran fundamental dari pekerja sebagai objek menjadi subjek aktif dalam kehidupan ekonomi mereka sendiri.
Model ini secara langsung menantang pembagian kelas antara pemilik modal dan pekerja. Seperti yang ditekankan oleh Marisol Sandoval (2016) dalam penelitiannya tentang koperasi di sektor budaya, model ini "mendemokratisasi kepemilikan dan kekuatan pengambilan keputusan." Ini bukan sekadar tentang menciptakan "kapitalisme yang lebih etis"; ini adalah tentang menata ulang hubungan kekuasaan di tempat kerja secara mendasar.
Lebih dari Sekadar Bisnis: Koperasi sebagai Gerakan Sosial
Potensi transformatif koperasi tidak berhenti di pintu pabrik atau kantor. Koperasi adalah bagian dari gerakan global yang lebih besar yang dikenal sebagai Ekonomi Sosial dan Solidaritas (SSE). Alexandre Guttmann (2020) mendefinisikan SSE sebagai "gerakan sosial yang mampu menggerakkan masyarakat melampaui ketidakseimbangan ekonomi pasar kapitalis."
Dalam ekosistem ini, koperasi tidak sendirian. Mereka berjalan beriringan dengan inisiatif lain seperti commons (pengelolaan sumber daya bersama oleh komunitas), pertanian yang didukung komunitas, dan berbagai bentuk usaha sosial lainnya. Tujuannya sama: membangun ekonomi yang melayani kebutuhan manusia dan planet, bukan sebaliknya.
Visi untuk Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Batam dapat mengambil inspirasi dari berbagai model yang telah terbukti berhasil di seluruh dunia:
1. Koperasi Sosial seperti di Italia: Mario Pansera dan F. Rizzi (2020) meneliti evolusi koperasi sosial di Italia, yang berhasil menyelaraskan kesuksesan komersial dengan prinsip kesetaraan. Bayangkan Koperasi Merah Putih mengelola sistem pengelolaan sampah daur ulang di tingkat kelurahan. Mereka tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga mengatasi masalah lingkungan, dan keuntungannya digunakan untuk program-program komunitas seperti beasiswa atau fasilitas olahraga.
2. Koperasi Energi seperti di Jerman: Di Jerman, ribuan koperasi energi dimiliki oleh warga lokal (Klagge & Meister, 2018). Mereka bersama-sama berinvestasi dalam panel surya atau turbin angin, menghasilkan energi bersih untuk komunitas mereka, dan membagikan keuntungannya. Bisakah warga di sebuah kelurahan di Batam melakukan hal yang sama, mungkin dengan memasang panel surya di atap-atap rumah secara kolektif untuk mengurangi tagihan listrik dan ketergantungan pada energi fosil?
3. Koperasi Pertanian seperti Gerakan MST di Brasil: Anthony Pahnke (2015) mendokumentasikan bagaimana Gerakan Pekerja Tak Bertanah (MST) di Brasil berhasil membangun koperasi-koperasi pertanian berbasis agroekologi. Ini bukan sekadar perlawanan, melainkan "perlawanan pemerintahan sendiri," di mana mereka secara aktif membangun sistem pangan alternatif yang adil dan berkelanjutan. Dalam konteks Batam, Koperasi Merah Putih bisa menjadi pelopor pertanian perkotaan (urban farming), menyediakan sayuran segar dan sehat bagi warga, sekaligus memberdayakan kelompok-kelompok marjinal.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa koperasi bukanlah model bisnis yang kaku. Ia adalah kerangka kerja yang fleksibel, yang dapat diadaptasi untuk menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang unik di setiap komunitas.
Tantangan di Dunia Nyata: Bisakah Koperasi Bertahan?
Tentu saja, jalan ini tidaklah mudah. Koperasi harus beroperasi dalam lautan kapitalisme yang ganas. Mereka menghadapi tantangan dan tekanan yang signifikan. Sandoval (2016) secara jujur mengakui adanya "ketegangan antara kebutuhan ekonomi dan tujuan politik." Koperasi harus tetap kompetitif untuk bertahan, dan tekanan ini terkadang bisa memaksa mereka untuk berkompromi pada nilai-nilai inti mereka.
Ada sebuah konsep yang dikenal sebagai "tesis degenerasi," yaitu gagasan bahwa koperasi pada akhirnya akan gagal atau terpaksa berevolusi menjadi seperti perusahaan kapitalis konvensional agar bisa bertahan. R. Ajates (2020), dalam studinya tentang koperasi pertanian di Eropa, memperingatkan tentang risiko "arus utama yang menyimpang," di mana koperasi dikooptasi oleh sistem pangan global dan kehilangan potensi transformatifnya.
Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa "degenerasi" bukanlah takdir yang tak terhindarkan. Kunci ketahanan koperasi terletak pada kekuatan terbesarnya: demokrasi.
K. Langmead (2017), yang meneliti koperasi pekerja di Inggris, menemukan bahwa praktik demokrasi yang hidup adalah penangkal paling ampuh terhadap degenerasi. Proses musyawarah dan pengambilan keputusan bersama yang terus-menerus membantu koperasi untuk "menyeimbangkan berbagai kebutuhan dan tujuan yang saling bertentangan." Lebih dari itu, demokrasi mengubah apa yang tampak seperti "risiko" menjadi "ruang kreatif dan produktif tempat makna dan praktik baru dapat dibentuk."
Ketika anggota terlibat secara aktif, mereka mengembangkan rasa kepemilikan yang mendalam. Mereka tidak akan membiarkan "bayi" mereka dengan mudah terseret arus. Mereka akan berjuang, beradaptasi, dan berinovasi. Seperti yang ditunjukkan oleh koperasi-koperasi energi di Jerman, ketika dihadapkan pada perubahan regulasi yang tidak menguntungkan, mereka tidak menyerah. Sebaliknya, mereka secara proaktif mengembangkan model bisnis baru yang lebih mandiri dan tangguh.
Visi untuk Batam: Koperasi Merah Putih sebagai Jangkar Komunitas
Sekarang, mari kita bawa semua gagasan global ini kembali ke rumah, ke Desa/Kelurahan di Batam. Apa wujud nyata dari Koperasi Merah Putih?
l Sebagai Koperasi Konsumen: Ia bisa dimulai dengan mendirikan sebuah toko kelontong atau warung milik bersama. Dengan membeli barang dalam jumlah besar langsung dari produsen atau petani, koperasi dapat menawarkan harga yang lebih murah kepada anggotanya. Keuntungan (disebut Sisa Hasil Usaha atau SHU) tidak masuk ke kantong satu orang pemilik, tetapi dibagikan kembali kepada anggota sesuai dengan seberapa banyak mereka berbelanja, atau diinvestasikan kembali untuk mengembangkan usaha. Ini adalah cara langsung untuk meningkatkan daya beli warga dan menjaga agar uang tetap beredar di dalam komunitas.
l Sebagai Koperasi Produsen/Pekerja: Bayangkan sekelompok ibu rumah tangga yang ahli membuat kue dan penganan. Secara individu, mereka kesulitan dalam pemasaran dan produksi. Melalui Koperasi Merah Putih, mereka bisa bersatu. Mereka bisa membeli oven dan bahan baku secara kolektif, membuat merek bersama, dan memasarkan produk mereka secara profesional ke hotel, kafe, dan perkantoran di Batam. Mereka tidak lagi bekerja sendiri-sendiri; mereka adalah pemilik bersama dari sebuah usaha kuliner yang berkembang, di mana setiap orang memiliki suara yang setara dalam pengambilan keputusan.
l Sebagai Koperasi Jasa: Kebutuhan akan jasa seperti penitipan anak, layanan kebersihan, atau bahkan jasa perbaikan (tukang listrik, ledeng) selalu ada. Koperasi Merah Putih dapat menjadi wadah bagi para penyedia jasa ini. Koperasi memastikan standar kualitas, menetapkan harga yang adil, dan memberikan jaminan sosial bagi para pekerjanya. Pelanggan mendapatkan layanan yang terpercaya, sementara para pekerja mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang bermartabat.
Apapun bentuknya, prinsip dasarnya tetap sama: kepemilikan bersama, kontrol demokratis, dan manfaat untuk komunitas. Koperasi Merah Putih tidak akan menjadi mesin penghasil laba untuk segelintir investor, melainkan sebuah jangkar ekonomi yang memperkuat ketahanan komunitas dari dalam.
Kesimpulan: Ekonomi yang Lebih Manusiawi Bukanlah Pilihan, Melainkan Keharusan
Dunia berada di persimpangan jalan. Model ekonomi yang telah membawa kita sejauh ini menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Ketidaksetaraan yang ekstrem, krisis iklim, dan kerapuhan sosial adalah alarm yang tidak bisa lagi kita abaikan. Kita membutuhkan narasi ekonomi baru—sebuah narasi yang lebih adil, lebih berkelanjutan, dan lebih manusiawi.
Koperasi menawarkan narasi tersebut. Ia bukanlah peluru perak yang akan menyelesaikan semua masalah, tetapi ia adalah alat yang telah teruji oleh waktu, sebuah perangkat penting untuk membangun demokrasi ekonomi dari tingkat paling dasar. Seperti yang ditunjukkan oleh berbagai penelitian, dari kolektif pekerja di Yunani hingga gerakan petani di Brasil, koperasi menciptakan ruang di mana orang biasa dapat mengambil kembali kendali atas kehidupan ekonomi mereka.
Proposal rencana usaha Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Batam adalah lebih dari sekadar proposal bisnis. Ini adalah sebuah ajakan untuk berpartisipasi dalam eksperimen demokrasi yang vital. Ini adalah sebuah pernyataan bahwa ekonomi seharusnya melayani kita, bukan sebaliknya. Dengan membangun institusi ekonomi yang dimiliki dan dikendalikan secara kolektif, kita tidak hanya menciptakan bisnis; kita sedang menenun kembali tatanan sosial komunitas kita, membangun fondasi untuk masa depan yang lebih tangguh, adil, dan sejahtera untuk semua.


Comments