top of page
Search

Geliat Kearifan Lokal Betawi: Menjawab Tantangan Zaman dengan Ekonomi Hijau dan Digital

Di tengah hiruk pikuk Jakarta sebagai kota megapolitan, tersimpan sebuah kekuatan tersembunyi yang berakar dari tradisi: kearifan lokal masyarakat Betawi. Jauh dari citra yang terkadang hanya terbatas pada seni dan kuliner, budaya Betawi sesungguhnya memegang kunci penting bagi pembangunan berkelanjutan di ibu kota. Sebuah komunitas di sudut selatan Jakarta, Laskar Krukut Luhur (Laskaru) di Jagakarsa, menjadi bukti nyata bagaimana nilai-nilai leluhur dapat berpadu serasi dengan konsep ekonomi modern yang ramah lingkungan.

Kisah Laskaru bukanlah sekadar dongeng nostalgia, melainkan sebuah narasi inspiratif tentang bagaimana modal kultural—aset tak ternilai yang diwariskan turun-temurun—mampu menjadi fondasi bagi ekonomi hijau, sirkular, dan digital. Di saat Jakarta menghadapi berbagai tantangan lingkungan, mulai dari krisis air, polusi, hingga ancaman banjir yang kian nyata, komunitas ini menawarkan solusi dari akarnya sendiri. Mereka menunjukkan bahwa menjaga tradisi bukan berarti menolak kemajuan, melainkan menggunakannya sebagai kompas untuk menavigasi masa depan yang lebih adil dan lestari.

Gambar 1. Kegiatan wawancara penulis (nomor 2 dari kiri) dengan narasumber
Gambar 1. Kegiatan wawancara penulis (nomor 2 dari kiri) dengan narasumber

Penelitian yang dilakukan oleh Roni Adi dari Institut Teknologi Batam sekaligus Pendiri Perkumpulan Betawi Kita mengupas secara mendalam peran komunitas Laskaru ini. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui observasi langsung dan wawancara mendalam, penelitian ini membingkai perjuangan Laskaru dalam kerangka teori modal kultural dari sosiolog kenamaan Pierre Bourdieu. Hasilnya adalah sebuah potret hidup tentang bagaimana pengetahuan lokal, semangat gotong royong, dan kecintaan pada alam menjadi motor penggerak pembangunan berbasis masyarakat di tengah belantara beton Jakarta.

Modal Kultural: Kekuatan Tak Terlihat di Balik Komunitas Betawi

Untuk memahami apa yang dilakukan Laskaru, kita perlu mengenal konsep “modal kultural” yang digagas oleh Pierre Bourdieu. Sederhananya, Bourdieu berpendapat bahwa kekayaan seseorang tidak hanya diukur dari materi (modal ekonomi) atau jaringan pertemanan (modal sosial), tetapi juga dari aset budaya yang dimilikinya. Aset ini bisa berupa pengetahuan, keterampilan, cara berbicara, hingga selera seni yang diperoleh dari lingkungan keluarga dan pendidikan. Modal inilah yang sering kali tanpa disadari membentuk cara kita memandang dunia dan berinteraksi di dalamnya.

Bourdieu membagi modal kultural menjadi tiga bentuk. Pertama, modal yang terinternalisasi dalam diri (embodied), seperti pengetahuan tentang cara bertani sesuai musim atau keahlian membuat kerajinan tangan. Kedua, modal yang terwujud dalam benda (objectified), misalnya alat-alat tradisional seperti cangkul dan bubu (perangkap ikan) yang tidak hanya berfungsi praktis tetapi juga sarat akan nilai sejarah. Ketiga, modal yang dilembagakan (institutionalized), berupa pengakuan formal seperti sertifikat atau penghargaan yang memberikan legitimasi atas keahlian seseorang atau sebuah komunitas.

Dalam konteks masyarakat Betawi, modal kultural ini sangat kaya. Sejarah panjang mereka yang hidup di tepian sungai dan terbiasa dengan bercocok tanam telah melahirkan kearifan dalam mengelola alam. Nilai-nilai seperti gotong royong, yang tercermin dalam tradisi nyambat (kerja bakti membantu tetangga), dan penghargaan yang tinggi terhadap alam, merupakan modal kultural yang mendarah daging. Sayangnya, derasnya arus modernisasi dan urbanisasi perlahan mengikis nilai-nilai ini, bahkan mengubah sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini menjadi sumber bencana. Di sinilah peran komunitas seperti Laskaru menjadi krusial, yakni menghidupkan kembali modal kultural yang hampir terlupakan itu sebagai strategi untuk bertahan dan berkembang.

Laskaru Jagakarsa: Wajah Modern Kearifan Betawi

Berdiri sejak 2013 dan kini beranggotakan lebih dari seribu orang, Laskaru bukanlah sekadar kelompok pecinta lingkungan biasa. Mereka adalah penjaga tradisi sekaligus inovator ulung. Berpusat di Kelurahan Cipedak, Jagakarsa, Laskaru menjadikan bantaran Sungai Krukut sebagai laboratorium sosial mereka. Di tangan mereka, nilai-nilai luhur Betawi bertransformasi menjadi praktik ekonomi yang konkret dan berkelanjutan.

Salah satu pilar utama kegiatan Laskaru adalah semangat gotong royong yang diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Tradisi "Nyambat," yang dulunya identik dengan membantu tetangga membuka lahan pertanian, kini dihidupkan kembali untuk membersihkan sungai atau mempersiapkan lahan perkebunan komunal. Ada pula tradisi "Ngubek Empang," sebuah perayaan panen ikan di kolam yang hasilnya dibagikan kepada semua warga yang berpartisipasi. Praktik-praktik ini bukan sekadar seremoni, melainkan cara efektif untuk memperkuat ikatan sosial dan menumbuhkan rasa kepemilikan bersama terhadap lingkungan.

Gambar 2. Ketua Laskaru, M. Rezza Shidqi bersama Babeh Idin (peci merah), Penasehat Laskaru dan Masyarakat dalam suatu kegiatan
Gambar 2. Ketua Laskaru, M. Rezza Shidqi bersama Babeh Idin (peci merah), Penasehat Laskaru dan Masyarakat dalam suatu kegiatan

"Alam ini bukan warisan, tapi titipan anak cucu. Bukan pemerintah, tapi kite-kite, termasuk elu yang harus menjaga," ujar H. Chaerudin, atau yang akrab disapa Babeh Idin, seorang penasihat di Laskaru dan penerima penghargaan Kalpataru. Filosofi sederhana namun mendalam ini menjadi ruh dari setiap gerakan Laskaru. Mereka tidak hanya membersihkan sungai dari sampah, tetapi juga melakukan penghijauan di sepanjang bantarannya untuk menjaga ekosistem dan mencegah erosi.

Dari Sampah Dapur Menjadi Emas: Praktik Ekonomi Sirkular ala Laskaru

Kejeniusan Laskaru tidak berhenti pada pelestarian tradisi. Mereka berhasil mengawinkan kearifan lokal dengan prinsip ekonomi sirkular—sebuah model ekonomi yang bertujuan untuk meminimalkan limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya. Inovasi andalan mereka adalah budidaya maggot (belatung dari lalat Black Soldier Fly) yang diolah dari sampah sisa dapur rumah tangga.

Setiap bulannya, komunitas ini mampu mengolah sekitar 14 ton sampah organik dari warga sekitar. Sampah yang semula menjadi masalah diubah menjadi pakan ternak berprotein tinggi. Maggot ini kemudian digunakan sebagai pakan untuk budidaya ikan nila dan lele di puluhan kolam bioflok yang mereka kelola. Bioflok sendiri merupakan teknologi budidaya ikan yang hemat air dan ramah lingkungan, sebuah contoh nyata perpaduan pengetahuan modern dengan tujuan pelestarian.

Rantai ekonomi ini terus berputar. Ikan-ikan yang diberi pakan maggot berkualitas tinggi tumbuh sehat dan diolah menjadi berbagai produk bernilai jual, seperti ikan kemasan yang menarik. Hasil penjualan ini kemudian kembali ke masyarakat, meningkatkan kesejahteraan mereka. Lebih dari itu, Laskaru bahkan telah berinovasi dengan mengeringkan maggot menjadi pakan kemasan yang memiliki harga jual lebih tinggi dibandingkan maggot segar.

Apa yang dilakukan Laskaru adalah implementasi sempurna dari ekonomi sirkular. Tidak ada yang terbuang. Sampah menjadi sumber daya, sumber daya menjadi produk, dan produk menghasilkan kesejahteraan, sekaligus mengurangi beban lingkungan. Inisiatif ini bahkan mendapatkan pengakuan formal. Laskaru dianugerahi penghargaan sebagai Pegiat Maggot Terbaik Tingkat Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2024, sebuah bentuk modal kultural yang dilembagakan.

Menanam Harapan, Menuai Kesejahteraan: Ekonomi Hijau Berbasis Komunitas

Praktik Laskaru juga sejalan dengan konsep ekonomi hijau, yang menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak lingkungan. Di lahan-lahan sepanjang bantaran sungai, mereka menanam berbagai tanaman produktif seperti kangkung, kacang panjang, dan jagung. Hebatnya, sistem pertanian mereka masih memegang teguh pengetahuan lokal yang diwariskan leluhur.

Komunitas ini tahu persis kapan waktu terbaik untuk membuka lahan, menanam, dan memanen berdasarkan siklus musim. Mereka memahami bahwa menanam pada musim hujan, sekitar bulan September hingga November, akan menghasilkan panen yang melimpah saat musim kemarau tiba. Pengetahuan ini, yang merupakan modal kultural dalam bentuk paling murni, adalah kunci keberhasilan pertanian mereka. Hasil panennya pun tidak untuk dijual semata, melainkan dibagikan kepada anggota masyarakat yang ikut bekerja, memperkuat kembali semangat kebersamaan.

Dalam mengelola perikanan pun, mereka masih menggunakan peralatan tradisional seperti

bubu (perangkap ikan dari bambu) di samping teknologi bioflok. Penggunaan alat-alat ini bukan karena anti-teknologi, melainkan sebagai cara untuk menjaga warisan budaya dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Semua ini menunjukkan bagaimana Laskaru mampu menyeimbangkan antara produksi ekonomi dan pelestarian ekologi, inti dari ekonomi hijau.

Menjembatani Tradisi dan Era Digital

Di era serba digital, Laskaru menyadari bahwa mereka tidak bisa berjalan sendiri. Meskipun praktik budidaya mereka belum sepenuhnya terdigitalisasi, komunitas ini memiliki visi untuk memanfaatkan teknologi guna memperluas jangkauan pasar. Melalui akun media sosial seperti Instagram (@laskaru_official dan @sisi.sungai), mereka aktif mengedukasi publik tentang pentingnya menjaga Sungai Krukut. Mereka juga menggunakan platform ini untuk memasarkan produk-produk mereka, mulai dari maggot kering, ikan olahan, hingga hasil perkebunan.

Namun, jalan menuju digitalisasi penuh tidaklah mulus. Tantangan utama yang dihadapi adalah rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat. Banyak pelaku usaha berbasis budaya yang belum memahami cara mengemas nilai-nilai tradisional dalam format digital yang menarik. Keterbatasan akses internet dan minimnya pendanaan untuk pelatihan pemasaran online juga menjadi kendala serius.

Meskipun demikian, peluangnya sangat besar. Dengan dukungan teknologi, warisan budaya Betawi dapat didokumentasikan dan dipromosikan secara lebih luas, bahkan melalui teknologi canggih seperti augmented reality (AR) atau virtual reality (VR) yang bisa menghidupkan kembali cerita-cerita rakyat atau arsitektur khas Betawi. Kolaborasi strategis dengan berbagai pihak—pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan media—menjadi kunci untuk membuka potensi ini. Laskaru telah merintis jalan ini dengan berbagai kerja sama, seperti program "Bayar Internet dengan Sampah" bersama PLN Icon Plus dan pembangunan Kampung Kreatif bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Pelajaran dari Jagakarsa untuk Pembangunan Berkelanjutan

Kisah komunitas Laskaru Jagakarsa menawarkan pelajaran berharga bagi pembangunan perkotaan di Indonesia. Mereka membuktikan bahwa modal kultural bukanlah sekadar artefak masa lalu yang harus disimpan di museum, melainkan aset hidup yang dinamis dan relevan untuk menjawab tantangan zaman. Integrasi antara kearifan lokal dengan prinsip ekonomi hijau, sirkular, dan digital bukan lagi sebuah utopia, melainkan sebuah keniscayaan yang telah dipraktikkan di lapangan.

Apa yang dicapai oleh Laskaru, meskipun masih dalam skala lokal, memiliki potensi untuk direplikasi di wilayah lain. Bayangkan jika setiap kampung di sepanjang 13 sungai Jakarta memiliki "Laskaru"-nya sendiri, yang mengelola lingkungannya dengan berbasis pada kekuatan budayanya masing-masing. Tentu ini akan menjadi solusi yang jauh lebih efektif dan berkelanjutan dibandingkan proyek-proyek masif yang sering kali tercerabut dari akar sosial masyarakatnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, dukungan kebijakan dari pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah perlu memberikan insentif, regulasi yang mendukung, serta pendanaan bagi inisiatif-inisiatif ekonomi berkelanjutan yang berakar dari kearifan lokal. Selain itu, penguatan kapasitas komunitas melalui pelatihan digital dan manajemen usaha juga tak kalah penting.

Pada akhirnya, Laskaru mengajarkan kita bahwa membangun masa depan yang berkelanjutan tidak harus dengan meninggalkan masa lalu. Justru dengan menggali kembali nilai-nilai luhur, merawatnya, dan mengadaptasikannya dengan perkembangan zaman, kita dapat menemukan solusi-solusi paling otentik dan berdaya. Di tengah deru pembangunan yang tak pernah berhenti, suara kearifan lokal dari tepian Sungai Krukut ini bergaung nyaring, mengingatkan kita bahwa identitas budaya adalah fondasi terkuat untuk membangun sebuah peradaban yang adil, lestari, dan sejahtera bagi semua.

 
 
 

Comments


bottom of page