top of page
Search

Nyala Api di Lumbung Harapan


ree

Di pagi hari yang cerah, di sela sarapan pagi di sebuah acara pelatihan di Bintan, Kepri. Saya membayangkan dialog imaginer antara dua bapak bangsa kita, Bung Karno dan Bung Hatta, sedang duduk santai di teras. Bukan lagi koran yang mereka baca, tapi sebuah headline di media online yang mereka baca di tablet digital. Di layar, terpampang berita besar: "Pemerintah Galakkan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Seluruh Indonesia." Kira-kira, apa ya yang akan mereka bicarakan?

Dua sahabat ini, meski sama-sama Proklamator, punya cara pandang yang menarik. Bung Karno adalah "Api" Revolusi. Bung Hatta adalah "Akal Sehat" dan sang arsitek ekonomi, Bapak Koperasi kita.

Melihat berita itu, saya membayangkan Bung Karno-lah yang pertama kali bereaksi.

Api Semangat Bung Karno

Bung Karno mungkin akan langsung bangkit dari kursinya, matanya berbinar, menepuk-nepuk layar tablet itu dengan antusias.

"Hatta! Saudaraku! Kau lihat ini?" serunya, suaranya menggelegar penuh semangat. "Bukan main! Delapan puluh ribu! Bukan delapan ratus, tapi delapan puluh ribu! Di setiap sudut desa!"

"Dan lihat namanya, Hatta!" lanjutnya sambil mondar-mandir. "Merah Putih! Bendera kita! Ini djiwa kita! Inilah yang aku teriakkan di setiap podium! Berdikari! Berdiri di atas kaki sendiri! Inilah Gotong Royong zaman now!"

Bagi Bung Karno, angka 80.000 itu bukan sekadar statistik. Itu adalah simbol mobilisasi. Itu adalah bukti bahwa rakyat kecil, kaum Marhaen yang selalu ia bela, kini bangkit serentak. Ini adalah cara merebut kembali kedaulatan ekonomi dari cengkeraman modal asing dan liberalisme.

Ia mungkin akan menatap Bung Hatta sambil tersenyum lebar, seolah sudah tahu apa yang dipikirkan sahabatnya.

"Aku tahu pikiranmu, Hatta," kata Karno. "Kau pasti sedang berpikir... 'Bagaimana pembukuannya? Bagaimana pendidikannya? Apa ini tidak cuma kejar jumlah?'"

"Itu penting, Hatta! Penting sekali! Tapi lihat dulu gerakannya! Lihat apinya! Kita bakar dulu semangat rakyat di desa-desa! Inilah 80.000 obor yang menyala serentak. Akhirnya, Hatta, Pasal 33 UUD kita itu benar-benar kita jalankan!"

Lumbung Akal Sehat Bung Hatta

Di tengah antusiasme Bung Karno, Bung Hatta mungkin akan tetap tenang. Ia meletakkan cangkir tehnya pelan-pelan, membetulkan letak kacamatanya, dan menatap sahabatnya itu dengan teduh.

"Karno, semangatmu itu yang membuat kita merdeka. Aku setuju, ini Fajar yang baru," kata Hatta dengan suaranya yang khas; pelan namun menusuk.

"Tapi kau menyebutnya 'api'. Kau tahu, Karno, api yang tidak dijaga bisa membakar lumbungnya sendiri. Api yang tidak terarah hanya akan jadi asap."

Bagi Bung Hatta, koperasi bukanlah "alat mobilisasi" atau "alat revolusi". Koperasi adalah "sekolah".

"Bagiku, koperasi itu bukan soal jumlah, tapi soal kualitas," lanjut Hatta. "Koperasi adalah tempat rakyat kecil kita belajar. Belajar jujur, belajar disiplin, belajar bertanggung jawab atas milik bersama. Itulah intinya, pendidikan."

Bung Hatta tidak terkesan hanya dengan angka 80.000. Ia lebih khawatir pada kualitasnya.

"Aku lebih baik punya seribu koperasi yang sehat, yang anggotanya cerdas dan sejahtera, daripada 80.000 koperasi yang hanya papan nama, tapi di dalamnya keropos," tegas Hatta.

"Jangan sampai, Karno, ini hanya jadi proyek untuk elite, mengatasnamakan rakyat. Pastikan 80.000 itu benar-benar 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat'. Pastikan ada 80.000 guru ekonomi yang siap mendidik mereka."

Api dan Lumbung Harus Bersatu

Dialog imajiner ini menunjukkan kepada kita dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.

Program 80.000 Koperasi Merah Putih ini adalah gagasan yang luar biasa. Kita butuh "Api" Bung Karno—semangat, kebanggaan nasional, dan gerakan massal—untuk memulainya. Tanpa semangat itu, program ini hanya akan jadi program biasa yang dingin dan tak berjiwa.

Tapi, kita juga sangat butuh "Lumbung" Bung Hatta. Kita butuh akal sehat, perhitungan yang cermat, administrasi yang jujur, dan fokus pada pendidikan anggota. Tanpa manajemen yang baik, 80.000 koperasi ini bisa layu sebelum berkembang, hanya "hangat-hangat tahi ayam".

"Nyala Api di Lumbung Harapan" ini hanya akan berhasil jika semangat revolusi Bung Karno bertemu dengan ketekunan ekonomi Bung Hatta. Koperasi kita harus menjadi tempat di mana semangat Berdikari dan Gotong Royong dikelola dengan profesional, jujur, dan cerdas.

Bagi saya, mendampingi Koperasi Kelurahan Merah Putih di Batam adalah sebuah laboratorium hidup. Sebagai dosen ekonomi, saya melihat teori; namun sebagai pelatih UMKM dan dewan pakar bagi nelayan tradisional, saya melihat realitas. Realitasnya adalah, kita punya 'api' semangat Bung Karno yang luar biasa besar untuk program 80.000 koperasi ini. Tapi, kita juga butuh 'rem' perhitungan Bung Hatta agar api itu tidak membakar lumbungnya sendiri. Membayangkan dialog mereka berdua kini terasa sangat relevan dengan apa yang saya kerjakan setiap hari di Batam

 
 
 

Comments


bottom of page