Laut Masa Depan Kita: Dari Ancaman Menjadi Peluang Emas Melalui Koperasi
- Roni Adi
- Aug 1
- 7 min read

Oleh: Roni Adi, SE., MM - Dosen Prodi Perdagangan Internasional ITEBA & Ketua Dewan Pakar DPD KNTI Batam
Kita semua tahu, laut adalah jantung kehidupan nelayan kita. Dari sanalah nelayan mencari nafkah untuk keluarga, dan di sana jugalah kita sekarang menghadapi tantangan terbesar dalam hidup kita. Pemerintah sering berbicara tentang potensi laut Indonesia yang katanya luar biasa, mencapai ribuan triliun rupiah. Pemerintah juga menggaungkan konsep "Ekonomi Biru", yang tujuannya memanfaatkan laut secara berkelanjutan, bukan hanya mengeruk isinya.
Tapi, mari kita jujur melihat kenyataan di lapangan. Di tengah potensi yang begitu besar, banyak dari kita, nelayan kecil dengan perahu di bawah 10 GT, masih terus bergulat dengan kemiskinan. Kita seringkali tidak punya pilihan selain bergantung pada tengkulak atau perantara karena sulitnya mencari modal dan pasar. Hasil tangkapan yang cepat busuk memaksa kita menjualnya dengan harga murah, karena butuh uang cepat untuk dapur dan solar.
Kondisi ini sekarang diperparah oleh dua masalah besar yang datang bersamaan: perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Ini bukan lagi cerita di koran, ini adalah ancaman nyata yang sudah kita rasakan setiap hari.
Ancaman Nyata di Depan Mata Kita
Coba kita lihat data yang dikumpulkan oleh Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Angka-angka ini adalah potret penderitaan kita bersama:
Hasil tangkapan kita anjlok hingga 72%. Bayangkan, yang dulu bisa kita dapatkan penuh satu keranjang, sekarang mungkin tinggal seperempatnya.
Pendapatan kita merosot tajam hingga 83%. Ini yang paling terasa, langsung memukul ekonomi keluarga kita.
Risiko kecelakaan di laut meningkat hingga 86%. Cuaca yang makin tidak menentu membuat setiap kali kita melaut, nyawa menjadi taruhannya.
Mengapa ini terjadi? Suhu laut yang semakin panas membuat ikan-ikan bernilai jual tinggi pindah ke perairan yang lebih dalam dan lebih jauh. Akibatnya, kita harus berlayar lebih jauh, menghabiskan lebih banyak solar, hanya untuk mendapatkan hasil yang lebih sedikit. Belum lagi masalah banjir rob yang makin sering merendam rumah dan merusak aset kita di pesisir. Ini seperti "pusaran kerentanan", di mana masalah alam dan masalah ekonomi saling tumpang tindih dan membuat kita makin terpuruk.
Di darat pun sama saja. Pembangunan kota Batam yang pesat, reklamasi pantai, perusakan hutan bakau, dan limbah dari pabrik serta perumahan telah merusak tempat ikan memijah. Hutan bakau yang seharusnya menjadi benteng alami kita dari ombak besar kini banyak yang hilang.
Ini sebuah ironi yang menyakitkan: pembangunan yang katanya untuk kemajuan, justru menghancurkan sumber kehidupan kita. Kita tidak bisa diam saja menerima kondisi ini. Kita harus menciptakan jalan ekonomi baru untuk kita sendiri.
Solusi di Depan Mata: Tiga Jalan Baru Menuju Kesejahteraan
Jika kita hanya terus bergantung pada satu sumber pendapatan dari menangkap ikan di laut, kita tidak akan pernah keluar dari masalah ini. Kita perlu membuka jalan-jalan rezeki yang lain, atau dalam bahasa kerennya, mendiversifikasi mata pencarian.
Artikel ini mengusulkan sebuah kerangka strategis untuk membangun ekonomi alternatif yang tahan banting terhadap perubahan iklim, yang dikelola sepenuhnya oleh kita, melalui sebuah wadah bersama bernama koperasi. Ada tiga pilar bisnis utama yang bisa kita bangun bersama:
Pilar 1: Budidaya Cerdas Iklim – Beternak Ikan dan Rumput Laut Sendiri
Ini adalah solusi untuk mengurangi ketergantungan pada hasil tangkapan laut yang tidak menentu. Dengan budidaya, kita punya kendali lebih besar atas produksi dan pendapatan kita.
Budidaya Kerapu di Keramba Jaring Apung (KJA) Ikan kerapu, seperti kerapu macan atau sunu, punya harga jual yang sangat tinggi, terutama untuk pasar ekspor ikan hidup ke Singapura yang permintaannya tidak pernah putus. Dengan memeliharanya di KJA, produksi kita menjadi lebih stabil dan tidak terlalu terpengaruh oleh cuaca ekstrem. Kita bahkan bisa memasang teknologi sederhana seperti sensor di keramba untuk memantau kualitas air secara langsung dari HP. Ini seperti punya "penjaga" 24 jam yang memastikan ikan kita sehat dan cepat besar, sehingga risiko investasi kita berkurang. Potensi keuntungannya sangat besar. Satu studi kasus menunjukkan modal kita bisa kembali berlipat-lipat, dengan Return on Investment (ROI) mencapai 286%.
Budidaya Rumput Laut: Modal Kecil, Cuan Cepat Ini adalah pelengkap yang sangat cerdas untuk budidaya kerapu. Rumput laut jenis Eucheuma cottonii modalnya sangat kecil, perawatannya mudah, dan sangat kuat menghadapi perubahan iklim. Bahkan, rumput laut ini bisa membantu menyerap polusi dan membersihkan air laut. Siklus panennya sangat singkat, hanya 40-45 hari, sehingga kita bisa mendapatkan uang tunai lebih cepat untuk kebutuhan sehari-hari. Permintaan dari pabrik pengolahan di Indonesia sangat tinggi. Usaha rumput laut ini bisa menjadi "bantalan pengaman" kita. Jika, misalnya, budidaya kerapu sedang ada masalah penyakit, pendapatan dari rumput laut bisa menjadi penolong.
Pilar 2: Mengolah Sendiri Hasil Laut – Jadi Juragan, Bukan Lagi Anak Buah
Selama ini, kita menjual ikan mentah dengan harga murah ke tengkulak. Sekarang saatnya kita mengolah sendiri hasil laut itu untuk meningkatkan nilai jualnya. Produk olahan juga bisa disimpan lebih lama, jadi kita tidak terburu-buru menjualnya saat harga jatuh.
UMKM Kerupuk dan Abon Ikan Melalui koperasi, kita bisa mendirikan unit usaha kecil untuk membuat kerupuk ikan, abon, atau produk olahan lainnya. Bahan bakunya bisa dari ikan hasil tangkapan sampingan atau yang ukurannya tidak masuk standar ekspor, jadi tidak ada lagi yang terbuang sia-sia (zero-waste). Pelatihan bisa didapat dari Dinas Perikanan Kota Batam. Sebuah studi kelayakan menunjukkan, usaha kerupuk ikan bisa memberikan laba bersih bulanan lebih dari Rp 11 juta.
Teknologi Blockchain: "KTP Digital" untuk Produk Kita Ini mungkin terdengar canggih, tapi bayangkan ini: setiap kemasan kerupuk atau abon kita diberi kode QR. Ketika pembeli di Singapura atau di mana pun memindai kode itu dengan HP mereka, mereka bisa langsung melihat "bukti asal-usul" produk tersebut. Mereka bisa tahu ikan ini ditangkap oleh nelayan siapa, dari perairan mana, dan diolah kapan. Ini membangun kepercayaan dan mengubah produk kita dari yang tadinya "generik" menjadi "premium", sehingga kita bisa menjualnya dengan harga lebih tinggi.
Pilar 3: Ekowisata Bahari – Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Selain menjual produk, kita juga bisa menjual "jasa" atau "pengalaman". Kita bisa mengundang wisatawan, terutama dari negara tetangga seperti Singapura, untuk merasakan kehidupan asli nelayan.
Homestay Nelayan dan Paket Wisata Otentik Di bawah naungan koperasi, kita bisa mengembangkan jaringan homestay atau penginapan yang dikelola oleh keluarga-keluarga nelayan. Kita tawarkan paket wisata yang unik:
"Sehari dalam Kehidupan Nelayan": Mengajak tamu mengunjungi KJA kita atau melihat cara memasang bubu.
Tur Konservasi Mangrove: Menjelaskan pentingnya hutan bakau yang kita jaga.
Kelas Memasak Pesisir: Mengajari tamu memasak dengan hasil laut segar dan produk olahan UMKM kita.
Snorkeling dan Jelajah Pulau: Menunjukkan keindahan bawah laut yang kita lestarikan.
Ekowisata ini adalah "mesin penghubung" yang luar biasa. Tamu yang datang akan menginap di homestay kita, makan ikan kerapu dari KJA kita, dan membeli kerupuk dari UMKM kita sebagai oleh-oleh. Artinya, 100% keuntungan dari hulu ke hilir akan kembali ke kantong kita, anggota koperasi, bukan lagi ke perantara. Ini menciptakan sebuah siklus ekonomi yang saling menguatkan.
Koperasi: Kunci Kekuatan Kita Bersama

Semua ide hebat di atas tidak akan mungkin terwujud jika kita masih berjalan sendiri-sendiri. Kita butuh sebuah institusi, sebuah rumah bersama yang kuat, dan itu adalah koperasi nelayan. Koperasi adalah kebalikan dari model tengkulak yang menindas. Di dalam koperasi, kita berlandaskan asas kekeluargaan. Kekuasaan tertinggi ada di tangan kita sebagai anggota, di mana satu orang memiliki satu suara, tidak peduli besar kecilnya modal. Keuntungan atau Sisa Hasil Usaha (SHU) dibagikan secara adil berdasarkan seberapa aktif kita bertransaksi dengan koperasi, bukan hanya berdasarkan modal.
"Ah, dulu juga pernah ada koperasi tapi gagal." Mungkin ada yang berpikir begitu.
Koperasi yang kita bangun kali ini berbeda. Koperasi ini akan berada di bawah naungan dan pembinaan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). KNTI akan berfungsi sebagai "induk" yang memastikan tata kelola koperasi berjalan profesional, transparan, dan akuntabel. KNTI akan memberikan pelatihan manajemen, keuangan, hingga teknologi.
Bersama dalam satu koperasi, kita menjadi kuat. Koperasi yang mewakili ratusan anggota akan punya posisi tawar yang jauh lebih tinggi untuk:
Mengakses Modal: Koperasi bisa menjadi jembatan untuk mendapatkan pinjaman berbunga rendah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau dana bergulir dari LPMUKP yang bunganya hanya 3% per tahun. Contohnya, Koperasi Mina Berkat di Batam sudah berhasil mendapatkan pinjaman Rp 200 juta lewat skema ini.
Mendapatkan Bantuan Pemerintah: Banyak program bantuan sarana dari pemerintah yang kini mensyaratkan nelayan tergabung dalam koperasi.
Memperjuangkan Hak: KNTI memiliki rekam jejak yang kuat dalam advokasi kebijakan. Ini sangat penting untuk memperjuangkan hak kita atas ruang laut. Kita harus memastikan lokasi untuk KJA dan ekowisata kita dialokasikan secara resmi dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), agar usaha kita aman dan tidak terancam digusur oleh proyek lain.
Peta Jalan: Melangkah Bersama, Tahap Demi Tahap
Membangun ekonomi baru ini adalah sebuah perjalanan, bukan sulap satu malam. Kita akan melakukannya secara bertahap.
Fase 1 (Tahun 1-2): Membangun Pondasi. Kita fokus pada penguatan manajemen koperasi, memberikan pelatihan dasar keuangan kepada anggota, dan memulai proyek yang modalnya kecil dan cepat panen, yaitu budidaya rumput laut. Ini penting untuk membangun kepercayaan dan menghasilkan uang tunai awal. Sambil berjalan, kita mulai proses advokasi untuk mengamankan zona laut kita.
Fase 2 (Tahun 2-4): Pengembangan dan Integrasi. Setelah pondasi kuat, koperasi mulai mencari pendanaan lebih besar untuk memulai proyek percontohan KJA ikan kerapu, mendirikan unit pengolahan UMKM, serta meluncurkan beberapa homestay pertama.
Fase 3 (Tahun 5 ke atas): Perluasan dan Keberlanjutan. Di fase ini, kita memperluas skala usaha yang sudah terbukti berhasil. Kita juga bisa mulai memikirkan masa depan, seperti menjajaki penggunaan energi terbarukan dari arus laut untuk memenuhi kebutuhan listrik di KJA dan homestay kita, mengurangi ketergantungan pada solar yang mahal dan kotor.
Masa Depan Ada di Tangan Kita
Krisis yang kita hadapi memang berat, namun di baliknya ada peluang besar untuk kita bangkit dan membangun masa depan yang jauh lebih baik. Keberhasilan rencana ini bergantung pada tiga hal yang berjalan seimbang: lingkungan laut kita harus sehat, manfaat ekonomi harus dirasakan secara adil oleh semua anggota, dan usaha kita harus menguntungkan.
Penguatan koperasi di bawah naungan KNTI adalah langkah pertama dan paling mendasar. Koperasi inilah yang akan menjadi mesin penggerak kita untuk memutus rantai ketergantungan pada perantara, meningkatkan nilai jual produk kita, dan memastikan keuntungan kembali ke kantong kita semua.
Perjuangan ini butuh gotong royong dan kolaborasi. Mari kita rapatkan barisan. Ini bukan hanya tentang mengubah cara kita mencari nafkah, ini adalah tentang merebut kembali kedaulatan kita sebagai nelayan.
Dengan semangat kebersamaan dan perencanaan yang matang, kita bisa menciptakan Ekonomi Biru yang benar-benar berdaulat, mandiri, dan berkelanjutan untuk kita, anak-anak, dan cucu-cucu kita. Masa depan yang lebih baik adalah milik kita bersama!



Comments