Jalan Tol Raksasa atau Jalur Persahabatan Lama? Peta Baru Indonesia di Panggung Dunia
- Roni Adi
- Oct 7
- 3 min read

Bayangkan Anda sedang duduk di sebuah meja besar, dan di hadapan Anda dibentangkan dua buah peta. Peta pertama adalah peta baru yang berkilauan, penuh dengan gambar jalan tol super modern, rel kereta api canggih, dan pelabuhan raksasa. Peta ini digambar oleh Tiongkok dan diberi judul "Jalur Sutra Modern" atau Belt and Road Initiative (BRI). Peta ini menjanjikan perjalanan yang super cepat dan efisien.
Di sebelahnya, ada peta kedua. Peta ini terlihat lebih tua, terbuat dari kanvas yang sarat akan cerita. Di sana tergambar rute-rute pelayaran kuno, di mana kapal-kapal Pinisi berlayar membawa pala dan cengkeh. Peta ini adalah milik kita, warisan nenek moyang yang kita sebut "Jalur Rempah". Peta ini tidak menjanjikan kecepatan, tetapi menjanjikan persahabatan, pertukaran budaya, dan kemakmuran bersama.
Saat ini, Indonesia persis berada di posisi itu. Kita dihadapkan pada dua pilihan besar: mengikuti peta baru yang modern, atau menghidupkan kembali peta lama yang penuh makna? Pertanyaan yang lebih penting adalah: bisakah kita menggambar peta baru kita sendiri dengan menggabungkan keduanya?
Membedah "Jalan Tol Raksasa" Milik Tiongkok
"Jalur Sutra Modern" atau BRI pada dasarnya adalah sebuah strategi ambisius dari Tiongkok untuk membangun "jalan tol global". Tujuannya adalah membuat jalur perdagangan menjadi lebih lancar dan terhubung langsung dengan mereka, baik melalui darat maupun laut.
Untuk mewujudkan ini, Tiongkok menawarkan "paket lengkap": pinjaman dana yang besar, teknologi canggih, dan perusahaan konstruksi untuk membangun berbagai proyek infrastruktur. Hasilnya bisa kita lihat dan rasakan langsung. Kereta Cepat "Whoosh" yang menghubungkan Jakarta-Bandung adalah contoh nyata dari "jalan tol" ini di negara kita.
Secara sederhana, BRI ini ibarat kita ditawari perangkat keras (hardware) tercanggih. Semuanya serba cepat, modern, dan mengesankan. Namun, setiap
hardware canggih pasti ada syarat dan ketentuannya, seperti cicilan pembayaran yang besar dan jangka panjang.
Menemukan Kembali "Resep Rahasia" Nusantara
Di sisi lain, Jalur Rempah adalah "resep rahasia" nenek moyang kita. Kekuatan utama kita di masa lalu bukanlah karena membangun jalan beton, melainkan karena kita adalah tuan rumah yang hebat di lautan. Pelabuhan-pelabuhan di Nusantara menjadi tempat bertemunya para pedagang dari seluruh dunia.
Mereka datang bukan hanya untuk membeli rempah, tetapi juga untuk bertukar cerita, budaya, dan pengetahuan. Filosofinya adalah persahabatan dan keuntungan bersama.
Menghidupkan kembali Jalur Rempah di zaman sekarang bukan berarti kita kembali menjual pala dengan kapal layar. Ini adalah upaya untuk membangkitkan kembali jiwa atau software bangsa kita:
Diplomasi yang Ramah: Menjalin hubungan baik dengan semua negara sebagai mitra yang setara.
Kekuatan Budaya: Mempromosikan budaya kita sebagai daya tarik utama.
Konektivitas Internal: Memperkuat hubungan antar pulau di dalam negeri agar ekonomi kita lebih merata.
Tantangan Nyata di Persimpangan Jalan
Di sinilah letak tantangannya. "Jalan tol" yang nyata dan bisa kita naiki setiap hari (seperti Whoosh) tentu terasa lebih konkret daripada "resep rahasia" yang lebih bersifat gagasan dan cerita. Ini menimbulkan beberapa persoalan nyata:
Dominasi yang Terlihat: Proyek fisik yang megah secara alami lebih menarik perhatian dan dana daripada program budaya atau diplomasi.
Isu Ketergantungan: Meskipun bermanfaat, pembangunan infrastruktur besar dengan pinjaman luar negeri menimbulkan diskusi alot mengenai utang dan keberlanjutan finansial jangka panjang.
Pekerjaan Rumah di Dalam Negeri: Di saat yang sama, program konektivitas internal kita, seperti Tol Laut, masih terus berjuang untuk benar-benar efisien dan merata di seluruh Nusantara.
Bukan Memilih, Tapi Menggabungkan: Peta Cerdas Indonesia
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Langkah paling cerdas bukanlah memilih salah satu peta, melainkan menggunting bagian terbaik dari kedua peta itu dan merekatkannya menjadi sebuah peta baru milik kita sendiri.
Ibaratnya begini: Kita menggunakan "aspal dan beton" dari jalan tol baru itu untuk memperbaiki dan memperluas "dermaga-dermaga" di jalur persahabatan kita.
Contohnya:
Pelabuhan modern yang dibangun lewat kerja sama dengan Tiongkok kita jadikan sebagai pusat utama bagi kapal-kapal lokal yang menghubungkan pulau-pulau di timur Indonesia.
Kereta cepat kita jadikan sebagai pintu gerbang bagi wisatawan untuk mengunjungi desa-desa budaya dan situs-situs bersejarah di sepanjang rutenya.
Hasil bumi dari daerah-daerah bekas pusat rempah bisa diangkut lebih cepat menggunakan infrastruktur baru ini, sehingga ekonomi lokal ikut terangkat.
Pada akhirnya, Tiongkok mungkin menawarkan kita mesin kapal yang sangat kuat (BRI), tetapi kita—Indonesia—harus tetap menjadi nakhoda yang memegang kompas (Jalur Rempah) dan menentukan ke mana arah tujuan kapal ini akan berlayar. Inilah cara kita menggambar takdir kita sendiri sebagai bangsa maritim yang besar dan berdaulat di panggung dunia.



Comments